by

Cerita Cinta Nusantara

SUARA JABAR SATU.COM | — Di masa Sultan Agung berkuasa, lahirlah kisah romantika Jawa dari rahim sejarah. Bukan saja tercatat sohor, kisah itu juga melegenda hingga kini. ‘Rara Mendut-Pranacitra’ demikianlah dikenal sebagai cerita cinta Romeo-Juliet bergaya Jawa.

Cerita Cinta Nusantara Roro Mendut, Taman Ismail Marzuki Teater Jakarta. Sumber foto: Dok Indonesian Dance 2014
Romeo and Juliet, sebuah karya susastra Inggris bergenre tragedi. Diadaptasi dari cerita roman tragis kuno yang berasal dari Itali. Pengarangnya ialah William Shakespeare. Kisah roman percintaan ini dipentaskan pertama kalinya pada 1597.

Tentu bukan karena bertepuk sebelah tangan. Kisah roman cinta Romeo-Juliet ialah kisah tak sampai karena membentur dinding tebal permusuhan dua keluarga besar mereka. Sama-sama berlatar belakang keluarga bangsawan. Keluarga Montague ialah silsilah Romeo dan keluarga Capulet silsilah Juliet. Dianggap roman tragis karena cerita ini bertutur kisah cinta yang tak sampai. Ujung cerita tiba pada momen kematian para tokoh utama. Karena satu atau lain hal, Romeo bunuh diri minum racun dan kemudian disusul Juliet.

Sudah tentu momen kematian sepasang kekasih ini berbuah hikmah bagi kedua keluarga. Perseteruan antarkeluarga yang telah berlangsung lama, selesai. Namun demikian, tetap saja struktur kisah cinta Romeo-Juliet sebenarnya antiklimaks.

Berselang 3–5 tahun sebelum pementasan perdana karya ini di Inggris, nun jauh di belahan bumi selatan di Tanah Jawa lahirlah bayi laki-laki. Namanya Raden Mas Jetmiko, yang saat memasuki usia remaja berganti nama menjadi Raden Mas Rangsang. Dia ialah putra mahkota dari raja kedua wangsa Mataram. Bayi laki-laki ini nanti dicatat sejarah sebagai raja paling agung di sepanjang periode kekuasaan dinasti Mataram. Ditengarai lahir kisaran 1592-1594 saat berkuasa dikenal dengan nama ‘Sultan Agung Hanyakrakusuma’.

Pada masa Sultan Agung berkuasa, yaitu kisaran 1613-1645, lahirlah kisah romantika Jawa dari rahim sejarah. Rara Mendut-Pranacitra, demikianlah sastra lisan atau folklore tentang cinta dan percintaan Jawa ini dikenal. Bukan saja tercatat sohor, kisah itu juga melegenda hingga kini. Sering disebut khalayak sebagai kisah “Romeo-Juliet ala Jawa”, meskipun sebenarnya struktur kisah kedua lakon ini berbeda tajam.

Alkisah, cerita ini diawali oleh sejarah penyerbuan Mataram ke Pati. Kekalahan Adipati Pragola, selaku penguasa Pati ini, lantas menempatkan Rara Mendut laiknya benda, karena menjadi bagian dari harta pampasan perang. Rara Mendut menjadi putri boyongan.

Oleh Sultan Agung, Mendut yang bak benda dianugerahkan kepada panglima perang Mataram karena dianggap berjasa atas sejarah penundukan Pati. Tumenggung Wiraguna, nama panglima tertinggi itu. Posisinya tak tanggung-tanggung, orang kedua setelah raja di hirarki kuasa kerajaan di zaman keemasan Mataram.

Bangunan Struktur Cerita

Simaklah struktur kisah Mendut-Pranacitra. Sekalipun juga berujung maut pada kedua tokoh utama–seperti struktur kisah Romeo and Juliet—jalan cerita Rara Mendut-Pranacitra berbeda signifikan. Pada sepasang pecinta dari Tanah Jawa ini tidak bisa ditafsirkan sebagai berakhir antiklimaks. Pasalnya, selain jalan kematian bukanlah bunuh diri, kisah ini bukanlah tipe melodrama melainkan juga mengandung muatan epos yang kuat.

Bagimana tidak. Ada potret heroisme yang gagah berani. Ada idealisme “super woman” terpatri kuat. Langsung atau tidak-langsung, kisah ini bertutur perlawanan sosial, antara kelas wong cilik-kawula (Rara Mendut) dan wong dagang (Pranacitra) yang dipersatukan oleh tali cinta melawan kesewenang-wenangan the rulling class yang direpresentasikan Tumenggung Wiraguna. Pati sebagai daerah taklukan Mataram, sedikit banyak tentu menyisakan bara ketidaksukaan atau bahkan spirit perlawanan pada dada si Mendut.

Selain itu, kisah ini juga momot struktur narasi yang berisi perlawanan gender kaum perempuan, melawan dominasi budaya patriarkhi. Sekalipun Mendut tentu tidak pernah mengenal gagasan emansipasi perempuan dan gerakan feminisme modern, kisah hidupnya merupakan biografi yang melukiskan spirit dan tuntutan akan kesetaraan gender. Sedangkan Tumenggung Wiraguna yang ingin Mendut jadi selirnya, entah selir ke berapa, jelas hasrat poligaminya itu mencerminkan kuatnya budaya patriarki.

Diceritakan Tumenggung Wiraguna tergila-gila kepada gadis Mendut. Pria yang sangat berkuasa di Mataram ini, berkedudukan sebagai panglima tertinggi, terhormat, dan memiliki banyak harta, lazimnya kaum perempuan saat itu justru berharap menjadi selirnya karena dianggap bisa meningkatkan posisi status sosialnya. Namun tidak demikianlah sikap si Mendut.

Mendut melihat posisi selir hanyalah lambang kekuasaan kaum laki-laki. Menurutnya, laki-laki itu sesungguhnya tidak pernah mencintai dengan segenap jiwa pada selir-selirnya. Laki-laki berkuasa memiliki banyak istri sebagai simbol kejantanan dan kekuasaan. Mendut tidak mau dijadikan objek dan simbol belaka. Tubuh dan jiwa baginya adalah miliknya sendiri yang merdeka dan tidak terbelenggu. Dengan alasan itulah Mendut, si gadis pantai dan dibesarkan dalam lingkungan budaya pesisiran itu, menolak mentah-mentah pinangan dan tawaran Tumenggung Wiraguna.

Sikap penolakan Mendut yang berani ini dianggap melecehkan kewibawaan seorang panglima perang kesayangan raja Mataram. Tumenggung Wiraguna menjatuhkan sanksi. Mendut sebagai papasan perang, yang berarti juga bukanlah warga merdeka, lantas dihadapkan pada dua pilihan: pilih membayar pajak atau menjadi selirnya.

Mendut tak undur sejengkal pun. Dia memilih membayar pajak, yang ini berarti juga harus mampu mentransformasikan peran pribadinya. Dari wong cilik-kawula menjadi wong dagang. Setiap hari Mendut harus membayar pajak untuk tinggal di Mataram. Nilainya semakin lama semakin tinggi, sejalan dengan sukses yang dicapai Mendut sebagai wong dagang.

Cerita Mendut tentu tak berakhir di situ. Menjalani aktivitasnya sehari-hari sebagai wong dagang di pasar, ternyata membawanya momen ‘pucuk dicinta ulam tiba’. Bertemulah dia dengan sosok cinta sejatinya. Pemuda tampan ini kemudian selalu hadir mengisi mimpi-mimpi malam Mendut dan sekaligus menjadi tambatan hatinya.

Ya, dialah Pranacitra. Putra seorang saudagar perempuan yang kaya raya, Nyai Singabarong. Penuh totalitas dan dedikasi mencintai Mendut, pemuda Pranacitra mengajak Mendut melarikan diri keluar dari teritorial kekuasaan Mataram. Mengajak kembali ke Pati. Tanah kelahiran Mendut.

Apapun taruhannya, bahkan jikalau risiko kematian bakalan merengut jiwanya. Pemuda Pranacitra sangatlah tak peduli. Cinta sejati tentu membutuhkan selaksa pengorbanan untuk mengejawantahkan. Demikianlah keyakinan kedua anak manusia ini tentang cinta.

Walhasil, kemarahan Tumenggung Wiraguna pun memuncak. Terlebih setelah Mendut, bukan hanya terang-terangan menceritakan keberadaan kekasih hatinya itu, dia kemudian bahkan juga melarikan diri keluar dari telatah Mataram bersama pemuda Pranacitra.

Tumenggung Wiraguna, tak mau menanggung malu dan lantas mengejarnya. Singkat cerita, pelarian Pranacitra-Medut ini berakhir pada duel antara Pranacitra dan Tumenggung Wiraguna. Hasilnya tentu mudah ditebak. Pranacitra bukanlah lawan tanding seimbang bagi panglima yang sohor karena ketangkasan berduel. Pranacitra pun kalah dan tewas di ujung keris Tumenggung Wiraguna.

Bagaimana akhir cerita si Mendut? Kisah Rara Mendut sebagai folklore masyarakat Jawa tentu memiliki banyak versi tentang seputar kisah kematian tokoh utama. Ada versi menceritakan Mendut bunuh diri dengan merebut keris Tumenggung Wiraguna, dan berakhir pada penyesalan mendalam si panglima perang Mataram. Versi lain menceritakan, Mendut juga terbunuh karena turut terlukai keris saat wong ksatria itu menusuk tubuh Pranacitra.

Mengingat Mendut adalah gadis yang cerdik dan pemberani, Romo Mangun sama sekali tak yakin jika gadis itu memilih mengakhiri hidupnya bunuh diri.

Seperti cerita rakyat umumnya, pengarang cerita Rara Mendut-Pranacitra jelas anonim. Konon, awalnya cerita ini beredar dalam bentuk tradisi lisan. Salah satunya dituturkan oleh seorang juru cerita termasyur bernama Patraguna.

Namun kemudian menjelang abad ke-18 cerita ini mulai digubah jadi tulisan. Dimulai oleh Raden Ngabehi Ronggosutrasno, seorang pujangga kraton di era Pakubuwono V. Kemudian diteruskan oleh CF Winter, seorang filolog berasal dari Jerman yang ahli bahasa Jawa, dan diterbitkan pada 1873 di Solo. Karya itu kemudian digubah lagi oleh Mas Kartasubrata dan diterbitkan di Semarang pada 1888. Pada 1898, terbit pula gubahan dalam bentuk wayang orang karya seniman berlatar belakang etnis Tionghoa, Ko Mo An.

Memasuki abad ke-20. Pada 1920 Balai Pustaka menerbitkan roman cinta ini ke dalam bentuk seri. Berdasarkan penerbitan Balai Pustaka itu, CC Berg lantas membuat versi terjemahan dalam bahasa Belanda. Gubahan dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Soeharda Sastrasoewignya pun diterbitkan oleh Balai Pustaka di 1936. Tak kecuali, pada 1938 Margasoelaksana pun mengubah folklore ini ke dalam bahasa Sunda dan diterbitkan oleh Balai Pustaka juga.

Memasuki era Indonesia merdeka. Setidaknya muncul dua sastrawan. Tercatat nama Ajip Rosidi. Mengubah lakon cinta Jawa ini ke dalam judul Roro Mendut. Diterbitkan oleh Gunung Agung pada 1968. Dan pada 1983, YB Mangunwijaya menggubah kembali lakon klasik Jawa ini ke dalam novel sejarah, Rara Mendut.

Berkat kepopuleran roman sejarah karya YB Mangunwijaya, yang awalnya diterbitkan oleh Harian Cetak Kampas ke dalam format cerita bersambung, maka di tahun 1983 kisah roman ini diadaptasi dan diangkat ke layar perak. Film itu berjudul Rara Mendut. Disutradarai oleh Ami Prijono. Dibintangi oleh aktor-aktor ternama Indonesia saat itu. Antara lain ialah, oleh Meriam Bellina, Mathias Muchus, dan WD Mochtar./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed