by

IHDN Denpasar Kini Punya Guru Besar Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama

SUARA JABAR SATU.COM  |  DENPASAR – Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, kini memiliki guru besar pada bidang Ilmu pariwisata budaya dan agama. Ia adalah Prof. Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par, yang telah dikukuhkan sebagai guru besar.

Pengukuhan ini berlangsung di kampus IHDN Denpasar, akhir Oktober 2019. Dia menjadi guru besar ke-9 di kampus tersebut.”Prof Sumadi, akan memberi kontribusi banyak terhadap pengembangan IHND Denpasar, khususnya untuk pariwisata religi,” kata Rektor IHDN Denpasar I Gusti Ngurah Sudiana, Minggu (3/11/2019).

Rektor IHDN Denpasar I Gusti Ngurah Sudiana berharap pengukuhan Sumadi sebagai guru besar pariwisata budaya dan agama, dapat memperkuat Bali. khususnya dalam pariwisata budaya. Ilmu Sumadi diharapkan dapat berkontribusi untuk pariwisata di Bali yang berbasiskan budaya menjadi pariwisata spiritual.

Tidak hanya itu, kata Rektor IHDN Denpasar, Prof Sumadi juga diharapkan dapat memperkuat dan berkontribusi pengembangan destinasi pariwisata Yoga dan pariwisata silat di kampus pada 2020. Pangsa pasar program ini adalah Jepang, China dan Asia Eropa. “Terlebih IHDN Denpasar sedang progres menuju Universitas,” kata I Gusti Ngurah Sudiana.

Dalam orasi ilmiahnya, Profesor Ketut Sumadi menyampaikan paparan yang berjudul “Relasi Wacana dan Kuasa Pengelolaan Modal Budaya Desa Wisata di Bali Dalam Perspektif Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Tri Hita Karana”. Profesor Sumadi menyampaikan bahwa Bali sejak dulu terkenal sebagai destinasi pariwisata dengan keunggulan budayanya. Pernah dikenal adanya desa wisata dan berkembang sangat bagus dengan syarat memiliki “Pramanam Patra Budaya” yang merupakan izin dari Listibia.

“Sekarang ada program desa wisata dari kebijakan WTO. Mulai dari cita-cita masyarakat untuk mewujudkan wisata berkelanjutan. Artinya menghormati tradisi, dapat memberikan kesejahteraan berkesinambungan dan memberi lapangan pekerjaan,” kata Sumadi.

Menurut Profesor Sumadi, desa wisata perlu diwacanakan dan didukung oleh pemegang kebijakan, seperti desa adat, pengusaha pariwisata dan krama desa (masyarakat) yang harus mendukung. Caranya. kata Sumadi, dengan membuat peraturan yang jelas, dari pemerintah pusat dengan undang-undang periwisata, Perda, dan undang-undang desa. Desa mesti memiliki “awig-awig dan pararem” (aturan), sehingga menjadi sangat kuat.

“Modal budaya itu harus didukung dengan modal sosial, SDM, ekonomi, dan politik. Perlu ada sinergisitas desa adat dengan desa dinas,” kata Prof. Sumadi yang juga seorang pemangku atau rohaniawan Hindu.

Disampaikan Sumadi, semua kelompok (paiketan) di desa itu, seperti paiketan pandita, serati, mancagra (ebat), arsitek, pregina, dan paiktan lainnya harus sering diajak, sehingga tidak terjadi pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang viral terjadi belakangan ini. Perlu juga ada rapat (paruman) untuk mewujudkan atraksi.

“Sebuah desa itu ada banyak tur yang bisa disajikan, sehingga ada banyak cerita yang bisa disampaikan kepada wisatawan. Dengan begitu, wisatawan bisa lebih lama tinggal di desa tersebut,” ujar pria asal Batuyang, Kabupaten Gianyar.

Prof Sumadi juga menjelaskan bahwa desa adat di Bali dalam pengelolaan modal budaya desa wisata harus mengutamakan penguatan desa adat berlandaskan “Tri Hita Karana”, baik terkait unsur “Parahyangan, Pawongan, maupun Palemahan”.

Penguatan unsur Parahyangan antara lain terkait aktivitas kearifan lokal religiusitas sesuai fungsi dan makna keagamaan dan kesejarahannya. Simbol agama dan benda sakral tidak dipakai hiasan atau komoditi pariwisata, dan aktivitas berwisata bersifat edukatif tentang nilai-nilai budaya serta tradisi keagamaan. Desa wisata juga memiliki agenda atraksi dan promosi terprogram dengan mempertimbangkan motivasi wisatawan. Idealnya, tidak ada aktivitas, perilaku wisatawan atau bangunan di lingkungan desa wisata yang dianggap dapat mengganggu keberadaan tempat suci dan tempat-tempat yang disucikan.

“Karena itu perlu dibuatkan aturan dalam awig-awig atau pararem tentang tata tertib/etika wisatawan di tempat wisata lengkap dengan sanksinya. Kemudian, tata tertib tersebut ringkasannya dipasang di tempat wisata sehingga wisatawan tidak melakukan aktivitas melanggar norma agama dan tradisi masyarakat seperti yang sering viral di media sosial,” ucap mantan aktivis/pegiat Peradah Indonesia.

Menurut Sumadi, penguatan unsur “Pawongan” antara lain desa wisata dikelola oleh lembaga desa atau kelompok sadar wisata atau badan usaha milik desa dengan SDM profesional yang memiliki komitmen terhadap penguatan desa adat berbasis “Tri Hita Karana”. Komposisi tenaga kerja di desa wisata di dominasi tenaga kerja lokal, memiliki program berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sosial yang mencerminkan implementasi unsur “Tri Hita Karana”, memiliki program memberdayakan SDM, fasilitas, memberikan apresiasi dan punya komitmen terhadap kesan/pesan, memiliki data tentang length of stay wisatawan dan menghindari terjadinya perselisihan/konflik di lingkungan internal pengelola maupun konflik dengan masyarakat sekitar desa wisata.

Profesor Sumadi mengatakan penguatan unsur “Palemahan” misalnya desa wisata memiliki data batas-batas yang jelas, memiliki kawasan/fasilitas parkir yang memadai, memiliki kantor/sekretariat pengelola yang representatif, seluruh bangunan penunjang di kawasan desa wisata mencerminkan arsitektur lokal dan lainnya. Wisata memiliki fasilitas untuk wisatawan yang berkebutuhan khusus, pengelola desa wisata memiliki wilayah yang terawat, indah, dan mencerminkan kearifan lokal hubungan harmonis manusia dengan alam, memiliki tempat pengelolaan limbah dan sampah dan lainnya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed