by

Kematian Daan Mogot dan Sejarah Pertempuran Lengkong

SUARA JABAR SATU.COM  | — Orang-orang yang tinggal dan rajin wara-wiri di Jakarta Barat dan Tangerang, Banten kenal nama Jalan Daan Mogot. Jalan sepanjang 27,5 km ini melintasi 13 kelurahan. Mulai dari Sukarasa, Tanah Tinggi, Batuceper, Kebon Besar, Kalideres, Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, Kedaung Kali Angke, Wijaya Kusuma, Kedoya Utara, Duri Kepa, Jelambar, Tanjung Duren Utara.

Sedari zaman Soeharto, jalan ini cukup ramai. Usia jalan ini lebih panjang ketimbang usia pemuda yang namanya menjadi nama jalan ini. Elias Daniel Mogot, alias Daan Mogot, jelas bukan asli Tangerang atau Jakarta Barat.

Ada dua orang Manado terkenal dengan nama Daan Mogot, yakni Daan Mogot yang terlibat dalam Permesta dan satu lagi Daan Mogot yang gugur di Lengkong di awal Revolusi Indonesia. Daan Mogot kedua inilah yang namanya diabadikan menjadi nama jalan.

Menurut Bode Talumewo, sejarawan Manado yang mendalami budaya Manado bertahun-tahun dan menulis Pahlawan Minahasa Mayor Daan Mogot (2007), Daan lahir di Manado pada 28 Desember 1928.

Sementara menurut Adrianus Kojongian, sejarawan dan jurnalis asal Sulawesi Utara, ayah Daan, Nicolaas Fredrik Mogot alias Nico Mogot, pernah menjabat Hukum Besar, yang memimpin sebuah distrik di Amurang dan Ratahan. Pada Juli 1939, Nico terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menggantikan Sam Ratulangi. Usia Daan kala itu hampir 11 tahun. Dari Tanah Minahasa, keluarga Mogot itu pindah ke Jakarta.

Bergabung dengan PETA
Ketika Hindia Belanda bertekuk lutut, usia Daan hampir 14 tahun. Itu merupakan usia rata-rata anak sekolah lulus sekolah dasar. Sebagai anak seorang pejabat pemerintah, Daan tentunya bisa bersekolah di sekolah dasar elite macam Europeesche Lagere School (ELS). Pendudukan Jepang tak bisa membuat Daan sekolah menengah dengan normal.

Daan salah satu pemuda yang terpilih untuk mengikuti latihan Seinen Dojo (pelatihan pemuda) di Tangerang. Latihannya tentu lebih keras dan lebih militer ketimbang di Seinendan (Barisan Pemuda). Kawan-kawan Daan yang belakangan terkenal adalah Jenderal mantan Duta Besar Yugoslovakia Kemal Idris, Jenderal dan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, dan Pemimpian pemberontakan PETA Blitar Supriyadi. Bapak Intelejen Indonesia, Zulkifli Lubis juga kawan satu angkatan. Mereka angkatan pertama di Seinen Dojo. Lulusannya belakangan masuk dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA).

Pangkat Daan ketika itu adalah Shodancho setara letnan. Tampaknya dia tergolong paling muda karena baru berusia sekitar 15 tahun ketika jadi perwira PETA. Menurut pengakuan Kemal Idris, dalam Bertarung dalam Revolusi (1996), Daan Mogot juga pernah menjadi asisten instruktur pendidikan PETA di Bogor dan Bali. Kemal juga pernah menjadi asisten instruktur yang sama.

PETA kebanyakan berisi orang-orang Jawa. Orang Manado termasuk langka di PETA. Orang Manado, yang kebanyakan beragama Kristen, termasuk orang-orang yang tidak dipercayai oleh militer Jepang di Jawa karena dianggap dekat dengan Belanda. Sebagai remaja, ikut Seinan Dojo lalu jadi perwira pertama PETA untuk mengisi masa mudanya. Jika pun harus bersekolah, kualitas pendidikan di era Jepang tak begitu baik. Anak-anak sekolah terlalu banyak baris berbaris dan latihan perang-perangan. Kepala mereka pun juga harus botak, tak jauh beda dengan tentara.

Di masa pendudukan Jepang, Daan berteman dekat dengan Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Mereka bertiga termasuk mantan Seinen Dojo yang ikut bergabung dalam Tentara Republik setelah proklamasi. Sepupu Daan, bernama Alexander Evert Kawilarang, yang bekas letnan KNIL, ikut juga ke pihak Republik. Ibu Alex dari marga Mogot juga. Alex mengingat Daan Mogot dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih (1988), yang ditulis Ramadhan K.H.

“Seorang pemuda, famili dari pihak ibu saya, muncul. Ia mengenakan peci hijau, menaiki sepeda motor. Saya masih mengenalnya. Tak banyak berubah dia. Itulah Daan Mogot,” aku Alex dalam biografinya.

Kepada Alex, Daan bercerita soal revolusi. Alex ingat ketika itu usia Daan sekitar 18 tahun dan belum bergabung dengan tentara Republik. Dia tak hanya mendapat berita buruk soal ayahnya yang tenggelam ketika ditawan Jepang, tapi juga disiksa Jepang di Sumatera.

Kepada Alex, Daan juga bercerita soal ayahnya yang dibunuh dan tak jelas siapa pembunuhnya. Kondisi Indonesia pascarevolusi tergolong kacau. Jelang akhir hidupnya, Nico pernah menjadi kepala penjara Cipinang. Ia meninggal pada tahun 1945 di usia ke-49, diduga akibat dibunuh. Jenazahnya lalu dimakamkan di makam keluarga Mogot di Langowan.

“Banyak benar anarki di sini,” celetuk Alex.

“Memang. Itu yang mesti kita bereskan. Dan untuk itu, senjata harus di tangan kita. Kita orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati. Kita mesti benar-benar menunjukan di pihak mana kita berada,” kata Daan pada Alex.

Kepada Alex, Daan juga bercerita ide untuk melatih calon perwira Republik. Akademi Militer darurat yang dinamai Militaire Academie Tangerang itu berdiri pada 18 November 1945. Daan yang yakin Alex berada di pihak Republik kemudian memberi informasi agar datang ke Jalan Cilacap No. 5 jika ingin bergabung tentara Republik. Petunjuk itu diikuti Alex dan dia pun ikut gerilya di Bogor. Alex termasuk perwira kepercayaan petinggi militer di Yogyakarta.

Mati Muda di Lengkong
Ketika mendirikan Militaire Academie Tangerang, pangkat Daan adalah mayor. Begitu juga Kemal Idris. Tempat belajar perwira Republik berada di wilayah tempur Resimen Tangerang. Hingga awal 1946, Resimen Tangerang punya masalah serius soal adanya serdadu-serdadu Jepang yang tak mau menyerahkan senjatanya kepada pihak republik, padahal mereka sudah kalah. Serdadu-serdadu Jepang itu biasanya hanya mau menyerah pada militer Inggris.

Daan Mogot kebagian tugas melakukan pendekatan ke Kapten Abe dari pasukan Jepang yang bertahan di Lengkong, yang tak koperatif itu. Usaha damai itu gagal. Sementara ada isu tentara Belanda yang berada di Parung berencana menyerang Tangerang. Markas serdadu Jepang bersenjata itu akan direbut. Begitu direbut, tentu saja senjata-senjata itu akan jatuh ke tangan militer Belanda. Sementara pihak Republik membutuhkan senjata-senjata tersebut.

Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo pun putar akal. Mereka hendak menipu serdadu-serdadu Jepang itu dengan membawa 8 serdadu militer Inggris asal India yang sudah berpihak ke militer Republik, dan juga puluhan Taruna Militaire Academie Tangerang. Seolah-olah terlihat sebagai operasi gabungan antara pihak Inggris dengan Indonesia untuk melucuti tentara Jepang yang sudah kalah itu.

Semula keadaan menguntungkan Daan Mogot dan kawan-kawan pada 25 Januari 1946, tepat hari ini 73 tahun lalu, itu. Daan dan perwira lain seperti Mayor Wibowo, Letnan Subianto dan Letnan Sutopo berhasil masuk dan meyakinkan perwira Tentara Jepang di Lengkong. Serdadu-serdadu Jepang itu percaya dan mau menyerahkan senjata mereka ke pihak Daan Mogot.

Tiba-tiba terdengar letusan senjata dan suasana jadi kacau. Beberapa senjata yang sudah diserahkan pun berusaha dirampas kembali oleh serdadu-serdadu Jepang itu. Tentu saja taruna-taruna didikan Daan Mogot itu tak mau dan melawan serdadu-serdadu Jepang. Pertempuran pun pecah. Banyak senjata yang masih dikuasai tentara Jepang, termasuk senapan mesin, membuat banyak taruna dan perwira Republik jadi korban dan tertawan setelah pertempuran.

Infografik Mozaik Daan Mogot

Daan Mogot, Soebianto, Soetopo beserta 33 taruna jadi korban dalam pertempuran tersebut. Satu dari 33 taruna itu adalah Sujono, adik Letnan Soebianto. Sujono dan Soebianto adalah adik dari Soemitro Djojohadikoesoemo dan anak dari pendiri Bank Negara Indonesia, Margono Djojohadikoesoemo. Keduanya paman dari politikus Prabowo Soebianto. Setelah ada gencatan senjata para taruna dan perwira Republik yang tewas itu dimakamkan Taman Makam Pahlawan Taruna.

Di bekas lokasi pertempuran Lengkong, berdiri Monumen Lengkong sejak 1993. Berdasarkan perintah Kepala Staf Angkatan Darat, Ryamizard Ryachudu, melalui Surat Telegram KSAD Nomor ST/12/2005 bertanggal 7 Januari 2005, tanggal 25 Januari pun dijadikan Hari Bakti Taruna Akademi Militer Magelang. Hari itu untuk mengenang peristiwa Lengkong beserta para taruna dan perwira yang gugur, termasuk Daan Mogot.

Tentu saja banyak pihak yang sedih atas kematian Daan Mogot, termasuk salah seorang gadis yang memiliki hubungan istimewa dengannya. Menurut Alex Kawilarang, Daan Mogot di tahun 1945 pernah tinggal di rumah keluarga Besar Singgih. Mr. Singgih punya anak perempuan bernama Hadjari Singgih yang suka berdiskusi politik.

Menurut Rosihan Anwar dalam Belahan jiwa: memoar kasih sayang percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi (2011), Hadjari Singgih punya hubungan istimewa dengan Daan Mogot. Beredar cerita kematian Daan Mogot membuat Hadjari memotong rambutnya yang sepanjang pinggang lalu menguburkannya bersama jenazah Daan Mogot./tirto/ratu

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed