by

Melawan Politik Ketakutan

-Nasional, Politik-2,534 views

SUARAJABARSATU.COM | SEJAK 2018 Indonesia memasuki tahun politik ditandai pelaksanaan pilkada serentak dan berlanjut pemilu serentak April 2019 untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Harapan kita suasana tahun politik ini lebih berkualitas dengan pertarungan ide dan program untuk menyejahterakan rakyat. Dengan cara ini momentum elektoral tidak hanya menjadi instrumen sirkulasi elite politik, tapi juga pendidikan politik bagi rakyat.

Namun, refleksi politik sepanjang 2018 menunjukkan kecenderungan dampak global penggunaan politik ketakutan atau politics of fearmulai muncul di negeri ini jelang Pemilihan Presiden 2019. Semoga fenomena ini berakhir pada 2018—dan memasuki 2019—atmosfer politik akan lebih diwarnai oleh politik akal sehat yang mencerdaskan rakyat.

Fenomena Politik Ketakutan

Pada 2017 Amnesty International melihat narasi politik pengambinghitaman, kebencian, dan ketakutan menjadi fenomena global yang tidak pernah terjadi sejak 1930-an. Dalam laporannya berjudul Politics of Demonization, lembaga HAM internasional ini menganggap banyak politisi merespon kekhawatiran dan ancaman keamanan dengan manipulasi politik identitas yang beracun dan memecah belah untuk memenangkan suara. Situasi politik ini digambarkan sebagai “demonisasi”, sebuah ide berbahaya yang menganggap sebagian manusia bukanlah manusia.

Situasi politik kebencian yang menebar ketakutan tersebut menurut analisis Bloomberg yang didasarkan atas hasil pemilu selama puluhan tahun di 22 negara Eropa adalah sebuah fenomena global yang menandai kebangkitan politik populis kanan di berbagai belahan dunia. Dalam laporannya, How the Populist Right Is Redrawing the Map of Europe, 11 Desember 2017, Bloomberg menemukan bahwa dukungan terhadap partai kanan populis lebih tinggi daripada yang sudah ada selama 30 tahun terakhir.

Partai-partai kanan populis ini memenangkan 16% suara keseluruhan rata-rata dalam pemilihan parlemen terbaru di masing-masing negara, naik 11% dari satu dekade sebelumnya dan 5% pada 1997. Kekuatan politik kanan ini tidak hanya menyasar soal imigran dan ekonomi, tapi juga menolak hak-hak kelompok gay seperti yang ditunjukkan Partai Kebebasan Belanda dan Partai Kemerdekaan Inggris.

Politik ketakutan telah menjadi gejala umum pascakehancuran Nazisme Jerman pada Perang Dunia II.  Pascaperang tersebut, politik ketakutan ala Nazisme hanyalah sempalan kecil dalam politik mainstream. Akselerasi politik ketakutan menjadi skala global terkait dengan krisis finansial global pada 2008. Puncaknya pada 2016 dengan kemenangan Donald Tump sebagai Presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa—Brexit.

Menurut Bob Rothstein dalam artikelnya, Politics of Fear versus Politics of Hope yang diterbitkan Social Europe, 12 Juni 2018, keberhasilan politik anti-imigran dan nasionalistis di Eropa didasarkan penciptaan politik ketakutan kepada para pemilih. Para imigran dianggap mengancam budaya nasional dan norma-norma sosial, meningkatkan kejahatan, mengancam kemakmuran ekonomi, dan membebani sektor kesejahteraan yang sudah semakin tipis. Politik ketakutan juga makin mengeras karena ketakutan akan terorisme yang terinspirasi oleh ekstremisme agama.

Dalam banyak kasus, politik ketakutan tidak didukung oleh fakta atau argumentasi rasional. Orang-orang yang takut tidak memperhitungkan fakta. Suasana budaya yang kental dari ketidakamanan dan kecemasan juga mendukung akar budaya ketakutan di masyarakat. Frank Furedidalam dalam bukunya, Culture of Fear: Risk-Taking and Morality of Low Expectation (1997), menyatakan ketakutan telah menjadi kekuatan yang mendominasi imajinasi publik dalam kaitannya dengan semua dimensi pengalaman manusia.

Dalam kontestasi politik elektoral, partai-partai politik dan politisi yang tidak mampu menginspirasi pemilih akan memanfaatkan budaya rasa takut di masyarakat untuk mengampanyekan kebijakan mereka sehingga seringkali apa yang membedakan partai-partai politik bukanlah ideologi, tetapi ketakutan yang mereka pilih untuk dikampanyekan. Maka sulit diharapkan dalam suasana demikian akan tumbuh politik akal sehat dan politik harapan yang menyejahterakan rakyat.

Politik Harapan

Ketika Trump melakukan kampanye anti-imigran, Barack Obama justru mendukung naturalisasi. Ketika Trump menyarankan untuk melarang muslim memasuki negara itu, Obama mengutuk pernyataan tersebut, kemudian mengunjungi masjid untuk pertama kalinya. Dalam situasi tersebut, seperti dikatakan Obama kepada majalah Time, 10 Februari 2016, “I Still Believe in a Politics of Hope”.

Penggunaan kata “politik harapan” dalam kampanye Obama telah menarik perhatian dan banyak menginspirasi tokoh-tokoh politik di dunia. Pimpinan Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn juga menggunakan wacana politik harapan pasca-Brexit dan dominasi Partai Konservatif di pemerintahan. Kepada The Guardian, 23 September 2017, Corbyn menyatakan dengan optimis, “Kita bisa menyediakan politik harapan, politik bagi rakyat.”

Fenomena politik ketakutan dan populisme telah menjadi fenomena global. Fenomena ini sekaligus mencerminkan dua sisi, politik harapan dan ketakutan. Harapan untuk massa dan kemenangan rakyat; ketakutan karena masyarakat yang semakin terpolarisasi dan rindu kembali ke jalan otoriterianisme baik di negara demokrasi lama maupun baru.

Indonesia harus bisa belajar dari dampak menghancurkan politik ketakutan yang memecah belah bangsa dan membuat mundur peradaban ke arah antikemanusiaan dan demokrasi. Karena itu, politik ketakutan harus dilawan dengan politik harapan. Politik yang membawa optimisme bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Mari kita akhiri wacana politik ketakutan di penghujung 2018 ini dan kita sambut tahun politik 2019 sebagai tahun harapan agar proses demokrasi di Indonesia semakin dewasa. Kita jadikan momentum politik 2019 menjadi “momentum harapan” bagi rakyat dan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik./hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed