by

Rangkong, Burung Keramat Suku Dayak

SUARAJABARSATU.COM | JAKARTA – Pernah mendengar burung enggang? Burung enggang atau biasa disebut juga burung rangkong terdiri dari 57 spesies. Dari 57 spesies ini 14 spesies terdapat di Indonesia dan bisa ditemui di Pulau Kalimantan.

Cerita dan mitos tentang burung enggang berbeda di setiap daerah. Namun bagi Suku Dayak Kalimantan, burung ini merupakan burung keramat.

Salah satu kisah menyebut, burung enggang merupakan jelmaan dari Panglima Burung.

Panglima Burung adalah sosok yang tinggal di gunung pedalaman Kalimantan dan berwujud gaib. Ia hanya hadir saat perang. Mengutip situs kalteng.go.id, pada umumnya burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan.

Nama Panglima Burung mencuat saat tragedi konflik di Sampit dan Sambas, Kalimantan, pada 2001 silam. Panglima Burung diyakini menyatukan Suku Dayak se-Kalimantan dan memberinya kekuatan.

Dalam kondisi tertentu, warga Dayak menggelar ritual tari perang untuk memanggil Panglima Burung. Sosok panglima memang diyakini sakti dan memberi kekuatan.

Cerita terkait yang sangat terkenal adalah tentang mandau terbang atau mandau yang bergerak sendiri mengincar lawan. Mandau adalah pedang khas Kalimantan. Panglima Burung dipercaya sebagai yang menggerakkan mandau terbang.

Sebenarnya burung enggang sendiri bermakna sebagai satu tanda kedekatan masyarakat Indonesia dengan alam sekitarnya. Seluruh bagian tubuh burung enggang digunakan sebagai simbol kebesaran dan kemuliaan suku Dayak. Burung ini juga melambangkan perdamaian dan persatuan.

Sayapnya yang tebal melambangkan pemimpin yang selalu melindungi rakyatnya. Sedangkan ekor panjangnya dianggap sebagai tanda kemakmuran rakyat suku Dayak.

Suaranya yang keras melengking, menjadi lambang ketegasan, keberanian, dan budi luhur. Perilakunya yang selalu hinggap di pohon tinggi diartikan sebagai sifat luhur dan jiwa kepemimpinan.

Burung enggang juga dijadikan sebagai contoh kehidupan keluarga di masyarakat agar senantiasa dapat selalu mencintai dan mengasihi pasangan hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang anak yang mandiri dan dewasa.

“Dalam masyarakat Dayak secara umum, burung—termasuk enggang—berkaitan dengan penciptaan manusia. Ia sarat nilai sakral dan spiritual. Jadi, bagi kami, mereka wajib dilindungi,” kata Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Krissusandi Gunui.

Salah satu jenis burung ini adalah enggang gading. Spesies ini berukuran besar, baik kepala, paruh dan tanduknya yang menutupi dahinya.

Enggang gading memiliki paruh dan mahkota berwarna putih. Warna putih itu akan berubah menjadi oranye dan merah seiring waktu.

Perubahan itu terjadi karena enggang menggesek paruh ke kelenjar sehingga menghasilkan perubahan warna.

Daun ara merupakan makanan favorit burung ini. Ia juga suka menyantap serangga, tikus, kadal dan burung kecil lainnya.

Suku Dayak Sekilas
Suku Dayak merupakan salah satu suku tertua di Nusantara. Warga suku Dayak sendiri saat ini sudah banyak menyebar ke berbagai daerah.

Suku Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.

Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak Punan dan kelompok Proto Melayu, moyang Dayak yang berasal dari Yunnan.

Meski terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.

Suku Dayak menggenggam nilai dan tradisi nenek moyang. Dari sisi lain, suku Dayak juga identik dengan hal-hal yang beraroma dunia gaib, salah satunya kepercayaan akan sosok Panglima Burung.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed