by

Stasiun Pulau Air yang Menolak Tua

Pemerintah mengaktifkan kembali stasiun tertua di Sumatra Barat untuk akses menuju sejumlah kawasan wisata.

SUARAJABARSATU.COM | Bau cat masih terasa di tiap sudut bangunan besar bergaya art deco tempo dulu dengan atap setinggi sekitar tujuh meter dari permukaan tanah. Tampilan seperempat tinggi tembok bangunan tampak dipercantik dengan aksen plester semen bercampur kerikil kecil yang diaci kasar sehingga menimbulkan kesan artistik.

Lima anak tangga selebar 6 meter menjadi penanda akses masuk utama menuju bangunan berukuran luas sekitar 500 meter persegi tersebut. Pada salah satu tangga tadi terdapat jalur khusus untuk disabilitas lengkap dengan besi pegangan berbahan stainless.

Besi-besi berbahan antikarat mengkilat itu juga menghiasi beberapa bagian bangunan. Bukan sekadar pemanis, besi-besi itu merupakan penghalang dari tepian-tepian curam agar membahayakan orang-orang yang melintas.

Tepat di bagian atas bangunan besar tadi terdapat tulisan berhuruf kapital ukuran jumbo “ST PULAU AIE”. Rupanya bangunan besar itu adalah bagian dari Stasiun Pulau Air yang terletak di tengah-tengah permukiman padat penduduk kawasan Kota Lama Padang di Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Stasiun Puluaie, salah satu stasiun kereta api tertua di Sumatra Barat.

Semula, bangunan besar tadi kondisinya sangat menyedihkan karena sudah tidak dipakai lagi sebagai stasiun kereta. Terakhir kali dimanfaatkan untuk melayani perjalanan kereta pada 1977 silam sebelum akhirnya berhenti beroperasi. Bangunan itu pun selama puluhan tahun dibiarkan tak terurus dan menjadi rumah bagi tunawisma serta tempat penitipan barang dagangan warga setempat.

Tanaman semak tumbuh subur seperti berlomba menutupi area sekitar bangunan yang kusam. Bahkan sampai merobohkan salah satu sudut tembok karena besarnya ukuran batang tanaman tersebut. Beberapa ruas rel tak lagi tampak bekasnya, ada yang dicuri atau telah diserobot warga untuk dibangun permukiman.

Seperti dikutip dari buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia, Stasiun Pulau Air adalah bagian dari jaringan kereta api pertama di Pulau Sumatra yang selesai dibangun pada tahun 1891 oleh Sumatra Staatspoorwegen, jawatan kereta api milik pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra. Jalur kereta api ini bermula dari Stasiun Pulau Air ke Padangpanjang sepanjang 70 kilometer (km), kemudian berlanjut hingga Kota Bukittinggi sejauh 90 km. Jalur ini resmi dipakai pada 1 Oktober 1892 bersamaan dengan dioperasikannya Pelabuhan Emmahaven, yang sekarang dikenal sebagai Pelabuhan Teluk Bayur.

Kehadiran jaringan kereta api dan pelabuhan samudra tak lepas dari ditemukannya tambang batu bara di Ombilin, Kota Sawahlunto pada 1868 oleh geolog terkemuka Hindia Belanda, Willem Hendrik de Greve. Jalur kereta api kemudian dipakai untuk mengangkut batu bara, hasil perkebunan, dan penumpang menuju Pelabuhan Muaro dan Emmahaven, keduanya di Kota Padang. Kereta api saat itu menjadi moda transportasi tercepat untuk menghubungkan antarkota dan sarana pengangkutan paling diandalkan untuk mengangkut hasil bumi.

Seiring makin beragamnya moda transportasi darat membuat pamor kereta perlahan sirna. Minat masyarakat memakai kereta api makin menurun dan menyebabkan sejumlah stasiun tutup operasi termasuk Stasiun Pulau Air. Layanan kereta api hanya tersedia pada lintas Padang-Pariaman, yaitu kereta api Sibinuang dan bus rel Lembah Anai.

Diaktifkan Kembali

Kehadiran Bandar Udara Internasional Minangkabau dengan fasilitas kereta bandaranya, Minangkabau Ekspress, menjadi momentum bangkitnya moda transportasi ini. Ini pula yang mendasari dihidupkannya lagi stasiun-stasiun tua seperti Simpang Haru, Duku, dan Stasiun Pulau Air.

Pekerjaan reaktivasi Stasiun Pulau Air telah mulai dilakukan pada Juni 2019 oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatra Bagian Barat. Awalnya rencana reaktivasi mulai dilakukan pada 2008, namun terhenti akibat gempa bumi di Sumbar pada 2009 yang meluluhlantakkan Kota Padang. Anggaran sebesar Rp40 miliar disiapkan untuk menghidupkan lagi Stasiun Pulau Air beserta jaringan rel baru sepanjang 2,5 km menuju Stasiun Padang, nama baru Stasiun Simpang Haru yang merupakan stasiun utama Minangkabau Ekspress.

Upaya menghidupkan kembali jalur kereta Stasiun Pulau Air bukanlah perkara mudah. Pasalnya, sejak berhenti operasi pada 44 tahun silam, praktis lahan stasiun dikuasai warga karena dianggap sebagai tanah tak bertuan. Setidaknya terdapat 238 bangunan berdiri di atas lintasan kereta mati, antara Stasiun Pulau Air dan Stasiun Padang.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) pun mengganti seluruh besi rel dengan model baru dan membangun ulang bangunan baru serta mendirikan pagar pembatas di sepanjang jalur rel. Bangunan stasiun lama Pulau Air tetap dipertahankan dan ditambah dengan bangunan baru yang dilengkapi sejumlah fasilitas, di antaranya, ruang kepala stasiun, ruang khusus laktasi, musala, toilet, serta peron baru. Stasiun pun dilengkapi lapangan parkir untuk 15 kendaraan mobil dan 40 motor.

Menurut Kepala Humas PT KAI Divisi Regional II Sumbar Ujang Rusen Permana, seperti dikutip dari Antara, Stasiun Pulau Air tak hanya mendukung pelayanan transportasi kereta bandara. Stasiun itu juga menjadi akses tercepat menuju kawasan Kota Lama dan Kampung Cina, obyek wisata heritage Kota Padang. Selain itu, Stasiun Pulau Air juga terletak tak jauh dari Pantai Padang dan Pelabuhan Muaro, dengan jarak sekitar 1 km.

Pelabuhan Muaro ini adalah pintu masuk menuju Kepulauan Mentawai yang terkenal dengan wisata pantai dan ombak besarnya. Puluhan ribu turis mancanegara setiap tahunnya mengincar berwisata ke Mentawai untuk menjajal ombak besar yang disebut-sebut terbaik di dunia dengan tinggi mencapai 5-6 meter.hdr

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed