by

Suksesnya Hajatan Akbar Anak Bangsa

-Nasional, Politik-3,113 views

Pemilu 2019 yang dihelat secara serentak, baik pilpres maupun pileg, boleh dikata sebagai even demokrasi paling ribet di dunia. Kenyataannya, partisipasi pemilih mencapai 80% dan pelanggaran pun hanya terjadi di 0,05% TPS dari jumlah nasional.

SUARAJABARSATU.COM | Kening orang nomor satu di Provinsi Papua itu tampak berkerut. Air mukanya kecut. Hatinya, boleh jadi, tidak happy. Apa pasal Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe merasa demikian?

Kekecewaan yang serta-merta menyergap dirinya itu muncul tatkala mengetahui logistik pemilu terkendala tiba tepat waktu. Sampai dengan pukul 11.00 WIT, tepat di hari pemunggutan suara, Rabu (17/4/2019), kebutuhan logistik belum tiba di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kota Jayapura.

“Ini hampir semua TPS di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura belum ada logistik. Jelas saya sebagai warga negara yang akan memberikan hak suara merasa kecewa,” tutur Lukas, saat ditemui di TPS 43, Kelurahan Argapura, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, tempatnya bakal mencoblos.

Kekecewaan pun menyergap Ketua KPPS 043 Kelurahan Argapura, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Matiaswiran. Dia pun memprediksi, keterlambatan distribusi logistik ini akan berakibat pada keterlambatan sistem dan waktu pemilu di kawasan itu.

“Terlambat begini maka waktu pemilih cuma berapa menit saja, dan jika sesuai dengan jadwal maka sisa waktu cuma dua jam saja. Kami harap ada tambahan waktu untuk pemilih,” jelas Matiaswiran.

Sejumlah warga di sekitar TPS sejatinya sudah datang sejak pagi tadi. Tapi karena menunggu lama, ada warga yang kembali pulang. Persoalan distribusi logistik kerap menjadi persoalan sendiri bagi kelancaran proses demokrasi di negeri ini. Kondisi geografis negeri menjadi alasan utamanya, kendati harusnya dapat diantisipasi jauh hari.

Tentu, tak ada gading yang tak retak. Tidak semua KPPS bisa melaksanakan tugas sesuai ketentuan. Sejauh ini, KPU mencatat ada masalah di 2.756 TPS,  atau sekitar 0,33 persen dari keseluruhan TPS. Dari jumlah itu sebagian besar kasusnya  adalah kesiapan logistik dan administrasi pemilu sehingga diambil langkah pemungutan suara susulan (PSS) atau pemungutan suara lanjutan (PSL).

Yang berupa pelanggaran Pemilu, seperti manipulasi penghitungan suara, intimidasi,  politik uang,  hanya di 393 TPS atau 0,055 dari seluruh  TPS. Pelanggaran ini pun umumnya terkait dengan ulah para calon legeslatif daerah.

Atas terjadinya pelanggaran itu, KPU memutuskan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 393 TPS tersebut. Pelanggaran di TPS ini sulit digelapkan karena sistem pemungutan suaranya terbuka, transparan,  dengan ketentuan yang cukup jelas. Warga diijinkan memotret hasil perhitungan suara pada formulir C-1 asli.

Merujuk kenyataan itu, secara umum, sangatlah pantas dikata bahwa Pemilihan Umum 2019 telah berlangsung secara lancar, tertib, aman, dan damai. Segala ketegangan politik yang menggemuruh, terutama di ruang media sosial (medos) menjelang hari-H Pemilu, segera mencair di lokasi  TPS (tempat pemungutan suara). Atmosfir TPS memang memberikan suasana yang bebas merdeka, transparan tapi menjamin kerahasiaan pemilih.

‘’Meski pemilu kita ini paling kompleks di dunia, dan melibatkan jumlah pemilih yang sangat besar di saat yang relatif sama, tapi semuanya bisa berlangsung dengan lancar, tertib aman dan damai,’’ ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Wiranto, usai menggelar rapat kordinasi tentang pelaksanaan Pemilu 2019, di Jakarta (27/4/2019).

Atas sukses penyelenggaraan pesta demokrasi ini, Menko Wiranto menyampaikan apresiasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jajaran TNI-Polri  yang menjaga dan mengawal jalannya pemilu, dan utamanya  para personil KPPS  (Kelompok Panitia Pemungutan Suara) yang tersebar di lebih dari 810.000 TPS. Dengan 6-7  petugas pada setiap KPPS, warga yang terlibat langsung dalam kepanitiaan Pemilu itu sekitar 5 juta orang.

Mengacu pada fakta bahwa tingkat pelanggaran di TPS yang kecil, dengan satu kasus ke kasus lain yang tidak berhubungan, Menko Polhukam Wiranto juga telah menegaskan bahwa tidak ada indikasi terjadi pelanggaran yang bersifat sistimatis, terstruktur, dan masif.

Apalagi, Wiranto menambahkan, KPU dan Bawaslu adalah badan independen yang tidak di bawah kendali dan pengaruh pemerintah. Bagi Wiranto, tuduhan adanya konspirasi pemerintah dengan KPU-Bawaslu adalah hal yang mengada-ada dan tidak berdasar.

Tentang kerumitan dan kompleksitas sistem Pemilu itu, seperti dikatakan Menko Wiranto, memang begitu keadaannya. Pada Pemilu ini, warga harus memilih pasangan presiden-wakil presiden, Dewan Perakilan Raktyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sekaligus. Untuk DPR sendiri ada DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota.

Maka, begitu masuk ke bilik suara, pemilih harus membawa lima kartu suara, kecuali di DKI Jakarta yang hanya empat karena tak miliki DPRD kota/kabupaten. Di bilik suara itulah, pemilih mengambil keputusan, pasangan calon  presiden-wakil presiden yang dipilih, anggota DPD yang harus dicoblos, serta siapa pula yang akan diberi amanah untuk DPR-RI, DPRD Provinsi, dan kabupaten/kota.

Pada Pemilu 2019 ini, di bilik suara warga memilih satu daru dua pasang calon presiden-wapres, memilih satu dari puluhan calon anggota DPD, memilih satu dari 16 partai politik, atau memilih masing-masing satu nama dari ratusan nama caleg (calon legeslatif) untuk DPR-RI, DPRD I dan II. Khusus Provinsi Aceh, sesuai UU Daerah Khusus Naggroe Aceh, ada empat partai lokal yang ikut kontestasi di dewan perwakilan rakyat provinsi dan kabupaten. Sekian nama lagi harus dicermati.

Atas dasar kerumitan itu, KPU menentukan setiap TPS maksimum melayani 300 orang. Maka, sesuai kebutuhan, 810.000 TPS pun dibangun untuk  190,8 juta pemilih. Sementara, Panitia pemilihan Luar Negeri (PPLN) menyiapkan sekitar 500 TPS guna melayani 2,06 juta pemilih yang tersebar di berbagai negara. Sebagian pemilih yang tak terjangkau TPS dilayani dengan pengiriman kartu suara lewat pos (dropbox).

Walau penuh dengan kerumitan serupa itu, rupanya antusiasme massa pemilih pada Pemilu 2019 cukup tinggi. Wiranto menyebutkan angka partisipasi mencapai 80,9% atau setara sekira 150 juta orang yang melakukan pemungutan suara secara serentak. Itu bahkan melampaui target 77,5% yang ditetapkan.

Sikap serupa ditunjukkan oleh pemilih di luar negeri, yang tidak kalah menggelegak. Di Washington, New York, Los Angeles, London, Amsterdam, Kairo, Hong Kong, Singapura, Sydney, dan kota-kota lain, WNI pemilih rela antre berjam-jam untuk sampai ke bilik suara. Lantaran itu diperkirakan, partisipasi pemilih luar negeri ini melampaui partisipasi Pilpres Juli 2014 yang mencapai 70 persen.

Bukan Hal Mudah

Ini adalah proses pemilu terbesar di dunia yang pemungutan suaranya hanya dilakukan dalam waktu satu hari. Di mana proses itu sekaligus menjadi puncak dari tahapan kampanye yang berlangsung dalam waktu relatif lama, yakni sekitar 8 bulan.

Jadi, pastilah tak mudah untuk mengelola even besar dengan cakupan wilayah seluas Indonesia. Untunglah rakyat negeri ini mengenal budaya gotong-royong, sehingga cukup membantu lancarnya setiap even nasional yang melibatkan publik.

Tidak sedikit warga yang bukan petugas resmi memberikan bantuan maksimal. Mereka berjibaku bersama, membangun tempat pemungutan suara. Bersama pula, mendampingi proses penghitungan sampai menjaga kotak suara untuk kemudian dikirim ke tingkat yang lebih tinggi.

Partisipasi warga terlihat dengan terlibatnya sejumlah lembaga survei profesional yang melakukan penghitungan cepat berdasarkan metode statistik. Keterlibatan warna negara dalam kapasitas dan perannya masing-masing itu turut memberikan bobot pada kualitas dan hasil pemilu.

Pada sisi teknis, prinsip keadilan dan fairness dijaga dengan sistem berlapis. KPU menetapkan pemenang berdasarkan perhitungan manual yang mengacu pada formulir yang dikumpulkan dari lapangan. Sistem perhitungan suara dilakukan berjenjang, mulai dari TPS, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai nasional. Setiap tahapan melewati proses cek dan recheck. Plus, penetapan melalui hasil pleno.

Ketika ada protes terhadap hasil pemilu, sistem hukum Indonesia sudah memberikan ruang untuk melakukan penyelesaian secara hukum. Ada Bawaslu dan Polri yang bisa menangani pidana pemilu, juga ada Mahkamah Konstitusi yang menangani sengketa pemilu.

Alhasil, proses pemungutan suara sebagai tahapan akbar dalam Pemilu 2019 bisa memang dikatakan berjalan dengan baik. Gejolak rakyat tidak terjadi. Polarisasi akibat perbedaan politik adalah hal wajar. Tetapi perbedaan itu dapat dikelola, sehingga tidak menimbulkan konflik.

Boleh jadi itulah sebabnya dunia internasional pun bergegas memuji Indonesia yang sukses menggelar Pemilu kali ini. Waktu pemungutan suara serentak yang hanya dibatasi beberapa jam saja merupakan peristiwa demokrasi kolosal. Jarang ada negara yang mampu melaksanakan program luar biasa ini dengan baik dan sukses.

Demi melihat keseluruhan variabel dalam proses demokrasi kali ini, menjadi tepat pula jika dikatakan bahwa suksesnya Pemilu 2019 merupakan kesuksesan seluruh rakyat Indonesia.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed