by

Warisan Tinggi Peradaban Nusantara

SUARA JABAR SATU.COM  |–Menari adalah cara bercerita tentang ruang dan waktu. Kemampuan mengatur gerak dan liuk tubuh adalah salah satu kemampuan manusia yang luar biasa dalam berkomunikasi.

Warisan Tinggi Peradaban Nusantara Tari Topeng Gaya Cirebon. Sumber foto: Pesona Indonesia
George Balanchine, salah seorang koreografer tari ternama abad 20, bercerita tentang hakikat menari pada Janet Descutner, penulis buku Asian Dance (2010).

Menari adalah ungkapan emosi manusia yang utama. Tiap kali kita berjabat tangan, bersulang kepada kawan, melambaikan tangan saat berpisah, hingga tepuk tangan karena senang, adalah satu bentuk tari tersendiri.

Manusia hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Di dalam dimensi itu, gerak adalah penghubungnya. Gerak dalam tari adalah cara manusia mengekspresikan dirinya. Tentang keluh kesahnya, tentang pengalamannya.

Negara kepulauan yang membentang dari ujung Sumatra hingga ekor burung di Papua mempunyai cara sendiri dalam mengangkat seni gerak dan liuk tubuh ke tingkatan yang lebih tinggi.

Hokky Situngkir, peneliti muda dari Bandung Fe Institut, menemukan bahwa pola utama kebudayaan Indonesia adalah geometri fraktal. Geometri fraktal ditemukan dalam corak seni lukis kain batik, seni metalurgi keris, titi nada gamelan, dan tentu saja olah gerak dan liuk tubuh nusantara.

Dari seni pertahanan diri hingga ritual pemujaan terhadap leluhur, semua membentuk satu hukum-hukum matematika yang sama. Tarian Indonesia, dalam bentuk mutakhirnya, bahkan menggabungkan semua capaian itu.

Tari Topeng Gaya Cirebon, misalnya, dalam pertunjukannya yang lengkap bisa memunculkan karakter-karakter yang melambangkan siklus hidup manusia. Kompleksitas karakter yang dipertunjukkan topeng Cirebon yang berumur ratusan tahun hanya bisa ditemui pembandingnya dalam pertunjukan Peter Gabriel, saat masih bersama grup musik Genesis di pertengahan 70-an.

Topeng Cirebon, dilihat dari cara berdiri, membentuk kuda-kuda, memainkan gerak kepala, menggerakkan tangan, hingga meliukkan badan semuanya membentuk pola yang menerjemahkan nilai-nilai masyarakatnya. Belum lagi jika menghitung iringan musik yang mengiringi tari nusantara. Tidak ada ekspresi budaya bermusik dan tari di dunia ini seperti orang Indonesia.

Claude Debussy, komposer musik dari Prancis pada abad 19, pernah menuliskan kesannya terhadap gamelan yang mengiringi tari saat ada Festival Seni Hindia Timur di Paris. Dia mengatakan, cara bermusik, dan cara berekspresi orang Nusantara jelas berbeda dari orang Eropa. Mereka bermusik dan berekspresi seperti laiknya orang bernafas. Begitu wajar dan natural, beginilah seharusnya musik dimainkan.

Eko Supriyanto, yang dikenal dengan nama panggung Eko Pece, adalah salah seorang penari dan koreografer tari Indonesia saat ini yang sangat dikenal dunia. Pembukaan Asian Games 2018 bulan Agustus lalu adalah salah satu hasil karyanya.

Koreografi beragam tari, mulai dari Ratoeh Djaroe dari Aceh yang kolosal, hingga Cakalele yang dinamis menjadi buah bibir di seluruh jagat pemirsa. Tontonan pesta olahraga kawasan Asia empat tahunan ini berhasil memunculkan berbagai ungkapan kekaguman dalam jejaring media sosial berbagi video yang menjangkau pelosok dunia.

Sayangnya, dari berbagai ungkapan kekaguman itu sangat sedikit cerita tentang orang-orang yang hingga detik ini menyumbangkan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk masa depan seni gerak dan liuk tubuh nusantara. Sangat sedikit pula cerita tentang bagaimana cara berproses untuk mencapai hal itu semua.

Ada nama Yusri alias Dek Gam yang mengembangkan berbagai tari dari bumi Aceh-Gayo saat hijrah ke ibu kota. Ada Marzuki Hasan dan mendiang Nurdin Daud yang menjadi seniornya. Ada kontribusi para “kamitua” yang kebanyakan perempuan di Halmahera Barat, yang mengajarkan cara bertutur dalam gerak Cakalele. Bertenaga sekaligus luwes. Sederet nama lain seperti Sardono, Miroto, Didik Nini Thowok, hingga mendiang Karimun, Sawitri, Rasinah, dan puluhan nama lain, tidak cukup untuk disebutkan namanya.

Pendek kata, Indonesia adalah tempat manusia-manusia yang mempunyai ekspresi seni gerak dan liuk tubuh dalam wujudnya yang tertinggi, tetapi kurang mendapat apresiasi. Sejak pelajaran kesenian hanya menjadi pilihan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dasar, praktis kemampuan orang Indonesia untuk mengenali dirinya sendiri semakin tenggelam.

Pertunjukan tari dalam keseharian masyarakat Indonesia adalah kelaziman yang mungkin tidak sulit untuk dijumpai. Acara-acara peringatan atau seremonial biasa mempertunjukkan tarian yang beraneka-ragam. Tetapi bagaimana agar orang Indonesia bisa memberikan apresiasi yang lebih tinggi terhadap seni tari, adalah persoalan.

Kemampuan menari adalah salah satu syarat utama bagi seorang pemimpin, catatan ini tertulis di dalam kitab kuno Negarakertagama. Salah satu cara yang memudahkan berbaurnya utusan dinasti Ming yang dipimpin Cheng Ho pada abad 15 dengan masyarakat pesisir utara Jawa adalah tari Ronggeng.

Mengapa para darwis pengelana dari Asia Tengah bisa belajar dan mengajar Islam-Sufi dengan orang-orang kepulauan Asia Tenggara adalah komunikasi gerak tari memuja Tuhan yang sama.

Sudah saatnya orang Indonesia yang sadar sebagai bagian dari bangsa Indonesia mengenal kembali jati dirinya. Keterbukaan informasi di zaman jejaring media audio visual tak berbatas, sebenarnya bisa menjadi sumber untuk mencatat kembali capaian-capaian para penabung peradaban.

Handoyo dari Pakisaji Malang, hingga kini tidak memungut biaya untuk memberikan latihan menari Topeng gaya Malang bagi anak-anak desanya setiap hari Minggu. Aerli dan Nur Anani di Indramayu dan Losari, mungkin dalam seminggu hanya punya satu hari untuk keluarga, sisanya didedikasikan untuk sanggar Topengnya.

Ery Mefri dari Minangkabau, Jecko Siompo dari Papua, Inu Kertapati dari Cirebon adalah generasi yang masih dalam usia emas untuk mendapatkan perhatian dan dukungan yang penuh dari berbagai pihak yang sadar dan berkemampuan./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed