by

Pasca Pilpres

-Opini-571 views

SUARAJABARSATU.COM | Beragam cerita menarik telah lahir dari pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia, yaitu pemilihan umum, mulai dari klaim kemenangan, sampai perdebatan seputar hasil survei. Pemilu pada 17 April 2019, pada dasarnya merupakan sarana untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, serta DPRD tingkat Provinsi, dan Kabupaten, Kota.
Faktanya euforia pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, telah menenggelamkan kesadaran masyarakat akan pentingnya memilih wakil rakyat yang berkompeten. Terlebih faktor pemberitaan media terutama nasional, yang berfokus pada dinamika penyelenggaraan pilpres, semakin meniadakan keberadaan pemilu legislatif.

Dewasa “Berpolitik”
​Pilpres 2019 merupakan remake pilpres 2014, hanya terdapat perbedaan pada Wakil Presiden, Jokowi menggandeng K.H. Maruf Amin, sedangkan Prabowo menggandeng Sandiaga Uno. Didukung hasil quick qount, lumbung suara para calon, mengindikasikan hasil yang hampir sama pada pilpres 2014 lalu, sehingga kampanye pilpres pada 2019, lebih pada menjaga lumbung suara agar tidak pecah.
​Polarisasi politik sejak pilpres 2014 memanglah kuat, dan sulit untuk dipersatukan kembali, saling ejek seolah menjadi kebiasaan bangsa kita sehari-hari, mengindikasikan perubahan dari demokrasi menjadi mobokrasi. Apabila dinamika tidak disertai dengan akal sehat, maka kerugianlah yang akan diterima, tentu sebagai bangsa kita tidak menginginkan hal tersebut.
​ Media, baik elektronik terutama online menjadi tempat perang utama, seorang oknum dalam menggiring opini pubik, tak heran yang selalu kita dapat hanyalah hoax, fitnah serta berita negatif lainnya. Akibatnya pemilu yang merupakan media pendidikan politik, berubah menjadi lapak perang yang memprihatinkan, karena saling menjelekan, terlebih saling mengkafirkan.
​Netizen yang budiman pasti mengetahui istilah “cebong” dan “kampret”, keberadaannya mulai eksis setelah pemilu 2014, simbol politik yang dilahirkan dari proses demokrasi yang tidak sehat. Sebagai negara religius, tentu memberi lebel negatif tidak diperbolehkan, apapun alasannya, karena sejak dulu kita memang bersaudara.
​Bangsa kita bermodalkan kreatifitas dalam berpolitik, istilah-istilah baru bernada nyinyir pun menjadi bukti, seperti bani serbet, bani taplak, tato jidat, bani micin, kaum bumi datar, sumbu pendek, terutama “cebong” dan “kampret”. Modal kreatifitas yang akan menghancurkan bangsa, apabila tidak dikelola dengan baik oleh pihak yang berwajib.
​Negara menjamin kebebasan masyarat dalam berpolitik, termasuk menyatakan dukungan, salah apabila fanatik,, tetapi harus kritis dan solutif, karena modal utama masyarakat dalam berdemokrasi. Fanatisme hanya melahirkan kebutaan, idola dianggap dewa, tidak memiliki kekurangan, ciri demokrasi semu mulai terlahir.

Faktor “Elit Politik”
​Elit politik wajib memberi tauladan yang baik, sehingga diikuti oleh para pendukungnya, utamanya menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok maupun individu. Hasil quick count pilpres 2019, menjadi bahan utama diskusi masyarakat sejak kemarin (17 April 2019), kedua kubu saling klaim kemenangan, bijaknya klaim kemenangan dilakukan sesudah penetapan oleh KPU.
​Idealnya kedua kubu memberi pesan-pesan yang konstuktif, bahkan memberi substansi penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban pasca pemilu. Tetapi ini politik, kepentingan selalu menjadi orientasi utama, jangan kita harapkan terjadinya proses politik yang dewasa dan sehat, apabila elit politiknya pun malah menjadi aktor utama sebuah konflik.
​Tidak terwujudnya orientasi politik, merupakan konsekuensi logis dalam proses memilih maupun dipilih, sehingga mental juara dan sikap berlapang dada, memang harus dimiliki seorang politisi. Dengan sikap kesatria “Tidak merayakan kemenangan berlebihan” serta “mengakui kekalahan” potensi konflik akan berkurang, serta pendidikan politik di masyarakat akan terwujud.
​Mereka yang menjadi elit politik seharusnya sadar akan urgensi tersebut, jenuh apabila negara selalu dilibatkan pada konflik horizontal. Politik seharusnya melahirkan manusia yang adil dan beradab, bukan melahirkan individu pencaci dan pendendam. Mengindikasikan perilaku kita yang salah dalam berdemokrasi.
​Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, terlepas dari segala daya dan upaya, ketika Tuhan telah menghendaki, maka akan terjadi. Masyarakat harus paham garis takdir tersebut, terlebih elit politik, yang perilakunya selalu mendeskripsikan ketidakpastian.

Merawat Persatuan
​Merawat persatuan merupakan strategi paling efektif dalam menjaga keutuhan negara, dengan persatuan, negara berupaya mewujudkan keadilan secara menyeluruh. Pun dalam konteks demokrasi, yang mengakomodir masyarakat untuk memilih pemimpinnya selama 5 tahun ke depan, tanpa keterpaksanaan.
​Membentuk warga negara yang dewasa, seharusnya menjadi hasil dari proses serta dinamika politik, wajar berbeda dalam pandangan politik, tetapi jika membuat kita terus berkonflik, tandanya kita belum menjadi bangsa visioner.
​Belajarlah dari Natsir, walau selalu berbeda pandangan politik dengan Soekarno, natsir tidak pernah berbicara buruk tentang soekarno, Natsir selalu mengutamakan kesantunan. Renungkan bagaimana prihatinnya pendiri bangsa, karena kita selalu terjebak konflik yang tidak berarti.
​Tanggung jawab bersama dalam merawat persatuan dan kesatuan bangsa, tidak mungkin kita mewariskan dendam akibat konflik yang tidak berarti, terutama pilpres. Sadarlah kita bersaudara, energi kita lebih bermanfaat apabila digunakan untuk menyelesaikan beragam persoalan bangsa, serta memikirkan Indonesia bagaimana kelak nanti.​/*Agil Nanggala, S.Pd.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed