by

Beternak di Kebun Sawit

Mentan Syahrul Yasin Limpo bertekad menggenjot produksi sapi potong. Banyak daerah punya sumber daya pakan untuk budidaya sapi, dan kebun sawit cukup menjanjikan.

SUARAJABARSATU.COM | JOGYAKARTA – Tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia masih cukup rendah. Hanya sekitar 3 kg per kapita per tahun. Masih tergolong rendah dibanding negara sekawasan, seperti Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Pun untuk kebutuhan yang masih rendah itu, Indonesia harus mengimpor. Situasi ini membuat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo prihatin.

Dalam arahannya di depan jajaran pejabat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), awal November lalu, Menteri Yasin Limpo mendesak jajaran Ditjen PKH bekerja keras, seraya membuat terobosan kebijakan guna mendorong peningkatan daging sapi. Salah satu cara yang disorongkan ialah menambah populasi sapi peternak, yang diiringi peningkatan layanan pemerintah terkait ketersediaan pakan dan kesehatan ternak.

Agar lebih fokus, Menteri Syahrul Yasin Limpo meminta agar penambahan populasi ternak itu dilakukan di provinsi-provinsi yang selama ini sudah menjadi sentra produksi ternak sapi, dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Intinya, produksi daging dalam negeri harus ditingkatkan untuk menekan impor dan mengejar swasembada. Tekad swasembada itu pula yang disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR, pada Senin (18/11/2019).

Dalam beberapa tahun terakhir usaha ternak sapi ini cukup berkembang. Menurut data di Ditjen PKH, populasi sapi potong di Indonesia meningkat dari 14,7 juta ekor pada 2014 menjadi 16,6 juta ekor pada 2017 dan diperkirakan mencapai 18 juta ekor di akhir 2019. Peningkatan populasi sapi ini, antara lain, didorong semakin luasnya layanan inseminasasi buatan (kawin suntik) maupun dari impor sapi indukan dan sapi bakalan.

Toh, dengan populasi 18 juta juta ekor pun, kebutuhan daging dalam negeri belum tercukupi. Produksi daging dalam negeri 2017 hanya 355 ribu ton (58%) dari kebutuhan nasional yang, mencapai 605 ribu ton. Selebihnya masih impor, dalam bentuk daging dingin segar atau daging beku. Kementan memang mendorong peternak membudidayakan jenis sapi-sapi potong ras seperti Brahman, Limousin, Belgian Blue, Chorolais, Angus, atau peranakannya, karena produktivitasnya yang tinggi.

Untuk menekan impor itu, Mentan Yasin Limpo meminta jajarannya menambah populasi sapi potong 1,4 juta lagi dalam waktu dekat. Lagi-lagi,  ia mengingatkan agar tambahan populasi itu dari jenis sapi unggul agar usaha budidayanya lebih efisien. Seekor sapi Limousin, misalnya, bisa mencapai bobot satu ton, 3 atau 4 kali berat sapi lokal. Mentan juga menginginkan agar bibit sapi itu bisa lebih banyak jatuh ke peternak rakyat.

Namun Mentan Yasin Limpo mengakui, kapasitas masyarakat peternak untuk menambah skala bisnisnya juga seringkali tidak mudah. Maka, pihaknya siap membantu perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD) turut terjun dalam usaha peternakan mamalia potong ini. Lokasi dipilih yang memang telah terbukti memiliki sumber daya yang diperlukan. Daerah yang lainnya dapat berkontribusi dalam penyediaan pakannya, semisal jagung.

Mentan Yasin Limpo juga melihat ada sumber daya lain yang belum dimanfaatkan secara optimal, yakni kebun sawit. Ia mengatakan bahwa konsep tumpang sari sapi-sawit baru terealisasi di lahan yang amat terbatas, kurang dari satu persen dari kebun sawit yang ada. Secara keseluruhan, kebun sawit yang ada di Indonesia ada sekitar 12 juta hektar.

Dengan jarak tanam antarbaris sawit selebar 8 meter, ada ruang cukup lebar untuk membudidayakan rumput pakan sapi. Kalau saja, 2 juta hektar bisa dimanfaatkan sebagai area rumput, setidaknya dua juta ekor sapi dapat dibudidayakan untuk ternak sapi potong. Kementan siap bekerja sama dengan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk memanfaatkan kebun-kebun sawit rakyat sebagai arena pengembalaan sapi.

Di luar area sawit, beberapa sentra produksi juga masih sanggup menampung tambahan ternak potong. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya. Menurut kajian Triyanto dkk dari  pascasarjana Agribisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta (2018) menunjukkan, daya dukung lingkungan Gunung Kidul masih memungkinkan adanya tambahan ternak sekitar 86 ribu ekor lagi, dari 107 ribu ekor yang telah ada. Yang dibudidayakan di sana adalah jenis sapi  lokal  dengan berat 200-250 kg. Gunung Kidul sendiri luasnya sekitar 1.485 km2, dengan sumber daya air terbatas.

Di Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, hanya ada sekitar 6.000 ekor sapi yang dibudidayakan oleh warga (sebagian besar perempuan) secara sambilan. Padahal, kecamatan ini luasnya 748 km2, seperempat dari luas Kabupaten Sijunjung, dan punya potensi limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti  jerami padi, daun jagung, kacang hijau, kacang tanah, ubi jalar, dan singkong. Sijunjung punya potensi menampung 18.000 ekor sapi lokal baru.

Penambahan 1,4 juta ekor tampaknya masih sangat dimungkinkan. Sementara itu, andalan produksi sapi potong nasional masih dari Jawa Timur yang menyumbang sekitar 30 persen. Pengembangan di Jawa Timur masih mungkin, meski di beberapa kabupaten, seperti Pamekasan, Madura, populasi sapi yang ada sudah hampir menyentuh batas daya dukung lingkungannya. Daerah Sumatra dengan iklim basahnya tentu menjanjikan, apalagi bila disertai tumpang sari di kebun sawit.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed