by

Pilkada Serentak 2018: PKS bahagia dan Golkar mengambil hikmah

-Nasional, Politik-2,004 views

SUARA JABAR SATU.COM | Hasil pemungutan suara Pilkada Serentak 2018 masih belum diumumkan secara resmi, banyak yang melihat penghitungan cepat sebagai salah satu patokan kinerja partai-partai pendukung calon tertentu.

Diikuti sekitar 150 juta pemilih yang masuk DPT di 171 daerah Indonesia , tentu dari segi jumlahnya bisa dilihat secara sepintas menjadi gambaran dari pemilihan umum secara nasional.

Namun Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Dodi Ambardi, menegaskan hasil resmi sekalipun -yang rencananya akan diumumkan 9 Juli nanti- sebenarnya tidak tepat dijadikan cerminan dari dukungan atas partai.

“Karena pilihan pada person (orang) dan mereka juga belum tentu berasal dari partai yang bersangkutan. Ada partai yang memberikan endorsement (dukungan) namun sebetulnya kandidatnya bukan kader dari partai tersebut,” kata Dodi.

Dodi merujuk pada Ridwan Kamil, yang berdasarkan penghitungan cepat beberapa lembaga, unggul di Jawa Barat namun bukan merupakan kader Partai Nasdem.

 

Penghitungan cepat Kompas menempatkan Ridwan menang di Pilkada Provinsi Jabar.

Didukung oleh Nasdem PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura, masih sulit untuk memastikan apakah kemenangan Emil disebabkan oleh kerja mesin empat partai tersebut atau lebih banyak didorong oleh elektabilitasnya sebagai individu.

Oleh karena itu pula, kekalahan calon yang didukung PDI-P di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di Sumatra Utara tidak bisa langsung dihubungkan semata-mata dengan kinerja partai.

“Gerindra dan PKS itu komandonya di Jawa Barat jalan sehingga pasangan dukungan mereka, Sudrajat-Ahmad Syaikhu, bisa melonjak ke urutan kedua. Sementara PDI-P mengajukan calon yang merupakan kader dari dalam, TB Hasanuddin, yang memang di Jawa Barat kurang populer. Tapi itu tidak berarti PDI-P jadi kalah mutlak di sana.”

Mengusung ganti presiden

Pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan sebutan Asyik awalnya bukanlah merupakan pasangan calon unggulan di Jawa Barat berdasarkan beberapa jajak sebelum pemungutan suara, namun penghitungan cepat menunjukkan mereka melesat di peringkat dua.

Kompas misalnya menghitung Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum meraih 32,54% disusul Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan selisih sekitar tiga persen, yang menurut juru bicara PKS, Mardani Ali Sera, ‘too close to call’ merujuk selisih suara yang tipis.

Calon dukungan PKS meraih kemenangan di delapan dari 17 pilkada provinsi sementara satu di Jawa Barat masih menunggu hasil yang lebih pasti.

“Karena itu secara umum PKS berbahagia karena strateginya di pilkada serentak ini berjalan dengan baik,” jelas Mardani sambil menambahkan srategi yang dimaksudnya adalah “menggerakkan mesin kader, penggunaan media sosial, dan membangun jejaring dengan ulama, teman-teman 212, maupun kelas menengah serta profesional.”

Dalam istilah Mardani, perolehan pasangan Asyik di Jawa Barat merupakan salah satu kejutan -walau bukan merupakan kejutan besar- yang antara lain disebbakan ikut turunnya Prabowo dan mantan gubernur Ahmad Heryawan untuk berkampanye pada 10 hari terakhir menjelang pemungutan suara.

Pilkada Serentak berlangsung di 171 wilayah, termasuk 17 provinsi yang memilih gubernur.

Mardani tidak menepis pula faktor dari debat calon terbuka, ketika pasangan Asyik menyampaikan pesan lisan dan juga membawa slogan gantipresiden2019 di akhir debat.

“Dengan luas Jawa Barat yang memiliki 27 kabupaten kota, rentang pendidikan dari yang tidak sekolah sampai yang sangat berpendidikan, kemudian perbedaan demogfrafis, maka satu isu solid akan menyatukan. Dan kami memang fokus menyampaikan ‘2018 Asyik menang, 2019 ganti presiden.’”

Perpecahan Golkar

Sementara Partai Golkar akan mengambil hikmah karena pencapaian dinilai tidak terlalu baik berhubung menetapkan sasaran kemenangan 60% namun baru tercapai 52% sejauh ini dengan menang di sembilan provinsi, yaitu lima kader murni Golkar dan empat lagi merupakan calon dukungan.

Namun Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Golkar, Nusron Wahid, mengaku kaget dengan perolehan di Riau, Suamatra Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, yang menjadi basis Partai Golkar walau pilkada pada dasarnya memilih kader dan bukan partai semata.

Calon dukungan PKS, Edy Rahmayadi, unggul dari Djarot , yang didukung PDI-P.

Nusron menambahkan hikmah yang diambil adalah perlunya peningkatan konsolidasi, khususnya untuk Riau, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan, karena partai mengalami perpecahan.

“Karena dua atau tiga kader Golkar dari rumpun yang sama, maju di titik-titik akhir meskipun didukung oleh partai yang berbeda. Tentunya basis pemilih Golkar menjadi bingung saiapa yang akan dipilih karena ada dua figur Golkar.”

Di Riau, misalnya, pasangan Syamsuar-Edy Nasution unggul berdasarkan penghitungan cepat dan Syamsuar, tambah Nusron, sebelumnya adalah bupati dukungan Golkar dan juga salah Ketua Gokar Tingkat II di provinsi itu.

Kasus yang serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan dengan Nurdin Halid dan Ichsan Yasin Limpo yang bersaing walau merupakan keluarga besar Golkar.

Bagaimanapun seperti dijelaskan Dodi dari Lembaga Survei Indonesia, Pilkada Serentak 2018 tidak bisa dilihat mencerminkan Pileg dan Pilpres 2019 nanti walaupun jelas faktor pemenang pilkada tidak bisa ditepis begitu saja.

“Itu kan suara-suara yang melekat pada kader dan prestasi dari kandidat tersebut,” katanya.

“Kalau itu yang dihitung maka siapa yang menang di daerah pemilihan dan memberikan endorsement pada salah satu kandidat capres dan cawapres, maka suaranya akan punya efek, punya kontrisbusi. Namun belum ada surveinya,” tandas Dodi Ambardi. (BBC.COM) Hdr.-

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed