by

Tidak Semua AstraZeneca Dihentikan Sementara

SUARAJABARSATU.COM | JAKARTA – Tidak semua vaksin AstraZeneca dihentikan distribusi dan penggunaannya. Hanya Batch CTMAV547 yang dihentikan sementara, sambil menunggu hasil pengujian dari BPOM.

Meski dalam kondisi liburan Hari Raya, pemerintah terus menggenjot program vaksinasi Covid-19 demi mencapai kekebalan bersama (herd community). Sampai Minggu (16/5/2021) jumlah orang di Indonesia yang sudah menerima vaksin SARS COV-2 lengkap terus bertambah.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah orang yang sudah menerima dosis lengkap (dua kali suntikan) vaksin Covid-19 mencapai 8.970.715. Adapun jumlah penerima dosis pertama vaksin jumlahnya sudah 13.737.596 orang dari target sasaran vaksinasi tahap I di tanah air sebanyak 40.349.049.

Dalam situasi ketersediaan vaksin corona yang ketat akibat terjadinya kasus gelombang kedua di beberapa negara Eropa, Amerika Latin, hingga Asia Pasifik dan Tenggara, pemerintah terus berupaya mengamankan stok melalui jalur bilateral maupun multilateral.

Setidaknya sejak Januari 2021, produk vaksin yang sudah disalurkan dalam program vaksinasi tahap pertama ini adalah Coronavac dari Sinovac Biotech Ltd dari Tiongkok dan AstraZeneca, produk buatan Cambridge Biomedical Co, industri farmasi patungan Inggris-Swedia.

Seluruh vaksin tersebut, sebelum digunakan di Indonesia, tentu harus melewati proses pengujian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal ini sesuai dengan protokol dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang penerapan otorisasi pengunaan darurat (emergency use authorization/EUA) oleh kementerian kesehatan maupun lembaga pengawas peredaran obat dan produk kesehatan negara setempat terhadap keamanan produk vaksin Covid-19.

Oleh karena itu, sebagai bentuk upaya melindungi masyarakat, Kementerian Kesehatan pada Minggu (16/5/2021) menghentikan sementara distribusi dan penggunaan vaksin AstraZeneca Batch (kumpulan produksi) CTMAV547, setelah ada rekomendasi dari Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) untuk pengujian toksisitas dan sterilitas oleh BPOM.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi memastikan, tidak semua batch vaksin AstraZeneca dihentikan distribusi dan penggunaannya. Hanya Batch CTMAV547 yang dihentikan sementara, sambil menunggu hasil investigasi dan pengujian dari BPOM yang kemungkinan memerlukan waktu satu hingga dua minggu.

“Batch CTMAV547 saat ini berjumlah 448.480 dosis dan merupakan bagian dari 3.852.000 dosis AstraZeneca yang diterima Indonesia pada tanggal 26 April 2021 melalui skema Covax Facility. Batch ini sudah didistribusikan untuk TNI dan sebagian ke DKI Jakarta dan Sulawesi Utara,” jelas Siti Nadia.

Menurut dia, Komnas KIPI merekomendasikan BPOM untuk melakukan uji sterilitas dan toksisitas terhadap kelompok tersebut dikarenakan tidak cukup data untuk menegakkan diagnosis penyebab dan klasifikasi dari KIPI yang dimaksud. Namun demikian, Batch AstraZeneca, selain CTMAV547, aman digunakan sehingga masyarakat tidak perlu ragu. “Penggunaan vaksin AstraZeneca tetap terus berjalan dikarenakan vaksinasi Covid-19 membawa manfaat lebih besar,” tambah Siti.

Hingga saat ini, berdasarkan data Komnas KIPI belum pernah ada kejadian orang yang meninggal dunia akibat vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Sebagian kasus yang terjadi pascapenyuntikan vaksin corona adalah gejala ringan, seperti demam dan nyeri otot.

Jubir Kemenkes menerangkan dalam beberapa kasus sebelumnya, meninggalnya orang yang statusnya telah divaksinasi Covid-19 adalah karena penyebab lain, bukan akibat dari vaksinasi yang diterimanya.

Kehadiran AstraZeneca di Indonesia cukup berliku. Setelah mendapatkan persetujuan EUA dari BPOM pada Februari 2021, sempat dikritisi publik karena banyaknya kasus penggumpalan darah oleh penerima vaksin ini di beberapa negara dan isu bahan baku yang tidak halal. Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa vaksin AstraZeneca boleh diberikan karena alasan kedaruratan dan demi keselamatan umat.

Pada 17 Maret sampai 19 Maret, BPOM sempat meminta Kemenkes menyetop peredaran vaksin tersebut untuk mengkaji laporan dari WHO serta Badan Otoritas Obat negara lain, terkait efek samping vaksinasi berupa kasus penggumpalan darah. Sejak itu, tidak ada kendala berarti dalam penggunaan vaksin tersebut.

Total sudah ada 6.410.500 dosis vaksin jadi AstraZeneca yang telah tiba di Indonesia. Vaksin ini diprioritaskan disalurkan ketujuh wilayah, yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, dan Bali. Di Jawa Timur, vaksin ini disuntikkan ke kalangan santri di pesantren.

Keamanan Produk

Menurut Kepala Badan POM RI Penny K Lukito, vaksin AstraZeneca yang diperoleh Indonesia melalui mekanisme Covax Facility diproduksi oleh SK Bioscience Co Ltd, Korea, dan telah masuk dalam daftar yang disetujui oleh WHO emergency use listing. Sementara vaksin AstraZeneca yang didaftarkan melalui jalur bilateral adalah produksi AstraZeneca Eropa dan Siam Bioscience Thailand.

Covid-19 Vaccine AstraZeneca sudah disetujui di beberapa negara, antara lain, Inggris, Uni Eropa, Kanada, Arab Saudi, Mesir, Malaysia, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko. Vaksin AstraZeneca adalah vaksin kedua yang masuk dalam daftar WHO-Emergency Use Listing (EUL), setelah vaksin produksi Pfizer BioNtech.

Sejauh ini, BPOM telah melakukan proses evaluasi untuk keamanan, khasiat, dan mutu dari vaksin AstraZeneca tersebut. Langkah itu dilakukan bersama-sama dengan tim ahli yang tergabung dalam Komite Nasional Penilai Obat, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), dan klinisi terkait lainnya.

Merujuk data hasil uji klinik yang disampaikan ke BPOM, pemberian dua dosis vaksin AstraZeneca dengan interval 4-12 minggu pada total 23.745 subjek dinyatakan aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Dari evaluasi khasiat, pemberian vaksin AstraZeneca menunjukkan kemampuan yang baik dalam merangsang pembentukan antibodi, baik pada populasi dewasa maupun lanjut usia.

Efikasi vaksin dengan dua dosis standar yang dihitung sejak 15 hari pemberian dosis kedua hingga pemantauan sekitar dua bulan menunjukkan efikasi sebesar 62,10%. Hasil ini sesuai dengan persyaratan efikasi untuk penerimaan emergensi yang ditetapkan oleh WHO, yaitu minimal efikasi 50%.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed