by

Perang Dagang Masih Akan Berlanjut

Kebijakan proteksionis ala Donald Trump menjadi faktor utama terjadinya perang dagang dunia, yang memicu instabilitas ekonomi. Jikapun dalam Pemilu AS Oktober nanti Trump tidak terpilih, tak otomatis masalah selesai.

SUARA JABAR SATU | Banyak orang menilai, perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan AS dimulai dari kebijakan proteksionisme ala Presiden AS Donald Trump. Presiden asal Partai Republik ini memang membalikkan semua kesepakatan dagang dunia yang termaktub dalam WTO.

Globalisasi pasar yang tadinya didorong AS sebagai pelopor kapitalisme, justru kini malah dihambat. Yang menghambat adalah AS sendiri melalui kebijakan perdagangan Trump yang memusuhi semua negara yang memiliki neraca dagang positif.

Tentu saja yang paling kena dampaknya adalah Tiongkok. Negara dengan kekuatan ekonomi raksasa ini memiliki kemampuan produksi yang luar biasa. Barang-barang produksi Tiongkok gencar memasuki AS. Bahkan, handphone produksi Tiongkok, seperti Huawei, dalam penjualan dunia berhasil menyalip iPhone. Huawei menguasai 17% pasar, sedangkan iPhone hanya menguasai 11%.

Melihat ancaman tersebut, AS mengambil kebijakan memblacklist Huawei. Tiongkok pun membalas dengan mengurangi sangat signifikan pasar iPhone di negeri tirai bambu itu.

Bukan hanya pasar handphone. Hal ini juga terjadi terhadap pasar besi baja, kendaraan bermotor, elektronik dan sebagainya. Akibatnya kondisi ekonomi dunia agak susah diprediksi karena hambatan kebijakan bisa saja dengan cepat mendistorsi pasar.

Orang berharap, kondisi ini akan berubah setelah Oktober 2020. Pasalnya pada saat itulah terjadi Pemilihan Presiden di AS. Anggapannya, jika Trump dikalahkan, kebijakan AS akan sama sekali berbeda. Dan itu akan dengan cepat mengakhiri perang dagang AS-Tiongkok.

Namun sepertinya tidak semudah itu. Kementerian Keuangan RI, misalnya, memprediksi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan tetap berlanjut meski Donald Trump kalah dalam pemilihan umum (pemilu) tahun depan. Kalau ramalan benar, ekonomi global masih berpotensi melamban pada 2020.

AS dan Tiongkok memang sedang dalam masa perundingan untuk menyepakati perjanjian perang dagang fase pertama. Namun, kedua negara ini belum juga meneken kesepakatan tersebut.

Trump sebelumnya menyatakan penandatanganan kesepakatan kemungkinan besar baru terjadi setelah pemilu di AS tahun depan. Sementara itu, pasar menanti kedua negara segera menyepakati perjanjian perdagangan agar ekonomi global pulih.

Hal ini juga yang menjadi sorotan pemerintah. Ditambah, situasi di Eropa juga tidak bisa dibilang cukup baik. Rencana Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa atau disebut Brexit disebut-sebut akan mempengaruhi situasi politik dan ekonomi di Eropa dan global. Hasilnya ekonomi Indonesia masih cukup menantang tahun depan.

Di tengah situasi ini, pemerintah akan menggenjot agar proses penerbitan undang-undang (UU) terkait omnibus law bisa segera rampung. UU itu khususnya mengenai cipta lapangan kerja.

Sementara itu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini hanya akan berkisar 3 persen, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 3,6 persen. Perlambatan juga terjadi pada pertumbuhan ekonomi AS yang diramal merosot dari 2,9 menjadi 2,3 persen dan Tiongkok dari 6,6 persen menjadi 6,2 persen.

Imbasnya, permintaan ekspor sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, turun. Menurut data laju volume perdagangan dunia cuma tumbuh 2,6 persen hingga 3 persen tahun ini, di bawah beberapa tahun lalu yang biasanya di atas pertumbuhan ekonomi.

Penurunan volume perdagangan global ini berdampak pada penurunan harga komoditas ekspor. Ini berdampak ke ekonomi Indonesia. 2018, harga komoditas ekspor kita turun 2,8 persen. 2019, turun lebih dalam 4 persen.

Memang AS dan Tiongkok masih berupaya untuk menyelesaikan kesepakatan perdagangan (trade deal) fase I. Namun, pelaku pasar pesimistis kesepakatan itu terjadi sebelum akhir tahun.

AS dan Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia. Konsekuensinya, pelambatan pertumbuhan ekonomi di kedua negara akan menekan permintaan ekspor dalam negeri.

Ia mengingatkan setiap penurunan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot 0,05 persen. Kemudian, setiap penurunan laju ekonomi Tiongkok, laju pertumbuhan ekonomi terseret 0,27 persen.

Artinya, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok, ekonomi Indonesia turun 0,32 persen. (E-1)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed