by

Ironi Anak-Anak Pekerja Ondel-ondel di Jakarta

Arak-arakan ondel-ondel di Jakarta banyak melibatkan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Bahkan banyak yang masih duduk di bangku SD.

SUARA JABAR SATU.COM | JAKARTA – Belakangan, arak-arakan ondel-ondel yang melibatkan anak-anak marak di Jakarta. Saban hari, mereka bisa ditemui di sejumlah jalan dan gang-gang di antara permukiman warga, mengumpulkan rupiah dari saweran orang-orang yang menonton.

Kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang harusnya anak-anak dapatkan: pendidikan demi masa depan yang lebih baik.

“Tak hanya pada saat-saat menjelang tahun baru 2019, permainan ondel-ondel ini banyak kita temui dalam keseharian. Dalam satu grup permainan ondel-ondel terdapat 6-8 anak-anak yang menjadi anggota,” kata Susianah Affandy, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rilis yang diterima Tirto, Kamis (3/1/2019).

Di hari yang sama, saya berkunjung ke markas Sanggar Aqila Betawi (SAB) di Jalan Lewa, Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sanggar ini bisa dibilang “dapurnya” pekerja ondel-ondel.

Saya disambut Bowo (27). Ia semacam koordinator lapangan di SAB. Tugasnya mengerahkan para pekerja untuk mendandani ondel-ondel pada setiap pertunjukan.

Markas SAB tak terlihat seperti ruang kerja pada umumnya. Cat biru tosca yang mewarnai dinding ruangan itu mulai terkelupas, dan daun pintunya sudah agak reyot.

“Ini rumah kakak saya, Bang Tommy, yang mendirikan sanggar ini,” kata Bowo, membuka percakapan.

Ondel-ondel di sanggar ini tidak hanya tampil saat ada permintaan yang sifatnya hanya sesekali. Secara rutin, ondel-ondel juga mengamen dengan arak-arakan ke jalan-jalan, lengkap dengan gerobak dan alat musik.

Pekerja ondel-ondel yang dibimbing Bowo ada 30 orang, mulai dari anak kecil hingga yang berusia kepala tiga. Setiap hari, sanggar ini bisa mengerahkan delapan ondel-ondel sekaligus yang disebar ke rute yang berbeda.

Sanggar ini juga menyediakan satu rumah kontrakan khusus untuk para pekerja ondel-ondel.

“Kontrakannya ada di sana [menunjuk ke arah belakang kantor]. Anak-anak lagi pada di situ,” kata Bowo.

Bowo lantas mengajak saya bertemu dengan para pekerjanya. Kontrakan itu tak jauh dari rumah Tommy, kakak Bowo. Di dalam, ada dua kamar yang ukurannya sama besar, masing-masing 2×2 meter persegi.

Di kamar yang satu, ada empat anak yang baru bangun tidur. Sedangkan di kamar lainnya, ada empat remaja yang sedang tidur.

Kedua kamar bebas dari perabotan kecuali dispenser dan galonnya yang tinggal setengah terisi. Baju-baju bergeletakan di lantai dan hanya sebagian tercantol di dinding.

Saya kemudian berbincang dengan Farel (11), salah satu anak pekerja ondel-ondel. Ia putus sekolah sejak kelas 2 SD. Waktu itu tahun 2016.

“Ngarak aja tiap hari. Enggak sempat [sekolah lagi], malu. Kalau ngelanjutin mulainya dari kelas tiga [SD]. Seharusnya umuran saya, kan, kelas empat,” ujarnya sambil menyulut rokok di bibirnya.

Farel terlahir di keluarga miskin. Sejak 2014, ia tinggal bersama kakeknya di Ciracas, Jakarta Timur. Ini karena bapaknya tak mau mengurusnya setelah ibunya meninggal. Sementara kakeknya, bekerja sebagai pengantar makanan dari toko ke toko hingga larut malam.

“Pas mau kenaikan kelas tiga, udah mulai kabur-kaburan terus. Tiap mau ke sekolah, malah ke sanggar ondel-ondel. Enggak ketahuan awalnya. Tapi kemudian ada yang ngasih tahu,” tutur Farel menceritakan awal mula ia ikut arak-arakan ondel-ondel jalanan.

Bermodalkan kemauan menghabiskan waktu delapan jam sehari, Farel mengaku bisa menghasilkan pendapatan yang lumayan. Di SAB, dalam sehari dia dan kawan-kawannya bisa mengantongi Rp70 ribu hingga Rp100 ribu.

Itu merupakan keuntungan bersih. Rata-rata dalam sehari, uang sawer yang terkumpul untuk satu ondel-ondel yang turun ke jalan, bisa mencapai Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. Anak-anak ini kemudian menyetor Rp90 ribu ke pengelola SAB. Setelah itu, jumlah tersisa dibagi rata berdasarkan jumlah anak-anak yang ikut mengarak.
Di SAB, Farel baru bergabung sejak Desember 2018 lalu. Sebelumnya ia bekerja untuk Sanggar Rifat Koperasi, yang bermarkas di Ciracas, Jakarta Timur.

Farel bukan satu-satunya anak-anak di SAB. Dari total 30 pekerja, sebagian besar adalah anak berusia di bawah 18 tahun.

Saat berbincang dengan Farel, saya juga bertemu Aria (15), Teguh (16), Airil (14), dan Danar (16). Mereka tampak gembira dengan kedatangan saya. Aria dan Teguh masih bersekolah, sedangkan Airil dan Danar putus sekolah sejak SD.

Di antara mereka berempat, hanya Teguh yang sudah tak punya orangtua. Ia yatim-piatu dari Padang. Pada 2010, menyusul kematian ibunya, ia diboyong bapaknya dari Padang ke rumah kerabat di Jakarta.

Di ibu kota, Teguh dibesarkan oleh tante dari mendiang ibunya yang bekerja membuka toko percetakan.

Saat ini, di tengah-tengah kesibukannya mengarak ondel-ondel, ia bersekolah di salah satu SMA di Depok dan duduk di bangku kelas dua. Ia mengaku ikut mengarak ondel-ondel demi membantu keluarga tantenya.

“Biar saya mandiri, enggak tergantung sama tante. Kata tante, saya disuruh nerusinkerja di percetakan, aja. Tapi saya pengennya cari duit sendiri, tanpa bantuan tante,” kata Teguh.

Berbeda dengan Teguh, Danar mengaku orangtuanya tak melarang ikut mengarak ondel-ondel. Sebelum bergabung di SAB, Danar sudah berpengalaman mengamen di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur.

Danar mengatakan sebagian penghasilannya selalu ia sisihkan untuk sang bapak meski ia tak pernah mendapatkan ucapan terima kasih.

“Dulu saya tinggal di Jatinegara. Di sana pergaulannya lebih kaget banget. Tahu, kan, Kampung Pulo? Ya, gitu: maen ngamen kerjaannya,” kata Danar.

 

Pundak Merah-merah

Pada masa awal bergabung, masing-masing anak-anak ondel ini harus ditatar terlebih dahulu. Mereka diharuskan menggunakan kostum ondel-ondel ketika arakan. Dalam istilah mereka: ngebarong.

Di hari-hari pertama, pundak mereka dipastikan merah-merah karena harus memikul beban dari siang sampai malam. Menurut Bowo, pembimbing mereka, itu adalah tahap adaptasi yang harus dilalui para pekerja ondel-ondel di SAB.

“Pegang barongan pasti pundaknya pada pegel. Saya ngerasaian itu pegalnya minta ampun. Nih, merah-merah,” tutur Bowo yang dulunya juga mengarak ondel-ondel ke jalan-jalan sembari menunjuk pundaknya.

Bagi pekerja yang masih anak-anak dan belum punya tinggi memadai, akan dikenakan teknik barongan berbeda. Kepala mereka akan dillit dengan kain untuk memikul kerangka ondel-ondel.

“Nih, kayak dia, nih, enggak nyampai di pundak [kostumnya], jadi taruh di kepala. Pakai kain diikat,” ujar Bowo sambil menunjuk Farel yang cengengesan.

Bantah Eksploitasi Anak

Tommy Himawan (39), si empunya sanggar, mengaku mendirikan SAB karena ingin berkontibusi dalam pelestarian kebudayaan. Sebelumnya, ia adalah wirausahawan yang awam tentang kebudayaan.

Tommy lantas melihat ondel-ondel sebagai peluang membuka lapangan pekerjaan. Ia pun menampik anggapan bahwa dirinya hanya ingin mencari keuntungan.

“Tujuannya bukan untuk komersil. Bukan. Sanggar ini rumah kedua mereka. Keluarga mereka pun harus tahu, enggak boleh sembunyi-sembunyi. Kalau orangtuanya enggak mengizinkan, saya juga enggak akan memperkerjakan,” kata Tommy.

Dari hasil arakan ondel-ondel anak-anak buahnya, Tommy mengumpulkan Rp5 juta hingga Rp6 juta setiap bulan.

Tommy sendiri tak menampik adanya eksploitasi anak dalam bisnis ondel-ondel ini. Namun, di SAB, ia mengaku ingin melakukan sebaliknya.

Tommy punya pandangan sendiri soal anak-anak yang bekerja di sanggarnya. Baginya, anak-anak adalah mereka yang berumur di bawah usia pelajar SMA. Jika usia rata-rata pelajar kelas satu SMA adalah 16 tahun, maka yang tergolong anak-anak di mata Tommy adalah yang berusia 15 tahun ke bawah.

Dengan pengertian ini, Tommy menganggap hanya ada satu anak yang bekerja di sanggarnya.

“Kan, kita enggak boleh memperkerjakan anak kecil. Terkecuali, dia sudah tidak punya bapak ibu. Itu gimana? Terkecuali kayak Farel. Kalau menunggu uluran tangan dari orang kaya, kan, dia akan kerja jadi karyawan. Keperluan sehari-hari dia gimana kalau enggak jadi karyawan?” kata Tommy.

Tommy merasa sudah memenuhi hak-hak para pekerja anak di sanggarnya. Ia menyebut penghasilan rutin tiap karyawannya adalah Rp2 juta per bulan dan ia juga sediakan tempat tinggal gratis.

Terkait wacana pemerintah yang ingin menghentikan fenomena anak ondel, Tommy tak gentar. Ia justru yakin anak-anak ondel perlu diberi pekerjaan untuk bertahan hidup.

“Kalau saya dibawa ke pengadilan pun saya siap. Saya akan menyampaikan pandangan saya di situ. Kalau cari sanggar yang berengsek, boleh cek semua. Ada 99 persen. Untuk itu saya di sini,” pungkas Tommy.

Menanggapi ini, Plt Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Asiantoro mengatakan akan berkoordinasi dengan Lembaga Kebudayaan Betawi (LBK) untuk mencari jalan keluar. Asiantoro sendiri tak menyangkal temuan KPAI. “Kami bina agar ondel-ondel anak itu lebih baik, seperti kasih tempat, dan sebagainya. Kami juga berusaha,” katanya. (Tirto)/hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed